Sabtu, 04 Februari 2012

Candi kidal

 Candi Kidal Peninggalan Anusapati

image
Peninggalan Anusapati
Malang, CyberNews. Terletak di desa Rejokidal, sekitar 20 km sebelah timur kota Malang, candi Kidal berdiri dengan tegak dan kokoh serta tampak keindahannya. Candi Kidal memiliki beberapa kelebihan menarik dibanding candi-candi di Jawa Timur.
Candi Kidal dikelilingi pohon-pohon besar dan rindang. Suasana asri dan aroma mistis akan tercium saat kaki menginjak halaman candi yang lausnya 21 x 22 meter dan tertata apik. Pengunjung pun akan mendapatkan pesan moral yang terpahat pada kaki candi.
Menurut catatan sejarah, candi Kidal dibangun pada 1248 M, bertepatan dengan berakhirnya upacara pemakaman Cradha untuk raja Anusapati, dan selesai pada 1260 M. Candi ini selesai dipugar pada tahun 90-an. Letaknya memang cukup jauh di pedesaan, namun mudah dikunjungi melalui jalan darat yang mulus.
Candi Kidal terbuat dari batu andesit dan berdimensi geometris vertikal. Bangunan kaki candi membentuk bujungsangkar nampak agak tinggi dengan anak tangga kecil-kecil. Ukuran tubuh candi lebih kecil dibandingkan luas kaki serta atap candi sehingga terlihat ramping. Pada kaki dan tubuh candi terdapat hiasan medalion.
Atap candi terdiri atas 3 bagian dengan bagian paling atas mempunyai permukaan cukup luas tanpa hiasan atap seperti ratna atau stupa. Masing-masing lapisan disisakan ruang agak luas dan diberi hiasan. Konon, pada awal pembuatannya, tiap pojok lapisan atap candi ditempatkan berlian kecil.
Candi Kidal dilengkapi dengan hiasan kepala raksasa yang nampak menyeramkan dengan matanya melotot penuh. Mulutnya terbuka dan nampak 2 taringnya yang besar dan bengkok memberi kesan dominan.
Adanya 2 taring tersebut juga merupakan ciri khas candi corak Jawa Timuran. Di sudut kiri dan kanan terdapat jari tangan yang siap menerkam. Relief raksasa tersebut dimaksudkan sebagai penjaga bangunan suci candi Kidal.
Menurut catatan sejarah, candi Kidal merupakan candi paling tua dari peninggalan candi-candi di Jawa Timur. Hal ini karena periode Airlangga (11-12 M) dan Kediri (12-13 M) tidak meninggalkan sebuah candi, kecuali candi Belahan dan Jolotundo yang sesungguhnya bukan merupakan candi melainkan pentirtaan (pemandian).
Ciri khas candi ini adalah adanya narasi cerita Garuda terlengkap yang terpahat pada kaki candi. Cara membacanya dengan berjalan berlawanan arah jarum jam, dimulai dari sisi sebelah selatan. Relief pertama menggambarkan Garuda menggendong 3 ekor ular besar, relief kedua melukiskan Garuda dengan kendi di atas kepalanya, dan relief ketiga Garuda meyangga seorang wanita di atasnya.
Di antara ketiga relief tersebut, relief kedua adalah yang paling indah dan masih utuh. Menurut kesusasteraan Jawa Kuno, Garudeya, ketiga relief tersebut menggambarkan perjalanan Garuda dalam membebaskan ibunya dari perbudakan dengan penebusan air suci “amerta”.
Cerita Garuda itu mengandung pesan moral dan legenda. Dalam filosofi Jawa, candi juga berfungsi sebagai tempat ruwatan raja yang telah meninggal supaya kembali suci dan dapat menitis kembali menjadi dewa. Ide ini berkaitan erat dengan konsep "Dewa-Raja" yang berkembang kuat di Jawa saat itu.
Berkaitan dengan prinsip tersebut, dan sesuai dengan kitab Negarakretagama, maka candi Kidal merupakan tempat di-ruwat-nya raja Anusapati –anaknya Kendedes bersama Tunggul Ametung-- dan dimuliakan sebagai Siwa. Namun sayangnya, sebuah patung Siwa yang indah dan diduga kuat berasal dari candi Kidal sampai sekarang masih tersimpan di museum Leiden-Belanda.
Konon, Anusapati sangat berbakti dan mencintai ibunya. Dia ingin ibunya lepas dari penderitaan dan nestapa salama hidupnya, menjadi suci kembali dan wanita sempurna. Relief Garudeya pada candi Kidal mengambarkan bakti Anusapati kepada ibunya Kendedes yang cantik jelita namun nestapa hidupnya.
Candi Kidal agaknya layak masuk dalam agenda wisata Anda. Lokasinya di pedesaan yang menyimpan banyak keaslian alam dan budaya. Relief Garuda yang terpahat di kaki candi memberi pesan moral yang patut diteladani.
Bila diterjemahkan dalam kehidupan sekarang, pesan moral tersebut tampaknya masih aktual: bakti seorang anak kepada orang tua –terlebih lagi kepada ibu yang melahirkan— tak akan lekang dan lapuk oleh waktu.
Apalagi dalam kondisi bangsa Indonesia yang tengah dilanda krisis multidimensi, pesan moral tersebut seakan memberi kekuatan pada kita untuk menjunjung hal-hal baik yang pernah diajarkan sejak masa lalu.

sumber : http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/gaya/2010/10/22/971/Candi-Kidal-Peninggalan-Anusapati

Keistimewaan  Candi Kidal


Kepala Batara Kala di atas gerbang masuk Candi Kidal.

Namun demikian candi Kidal sesungguhnya memiliki beberapa kelebihan menarik dibanding dengan candi-candi lainnya tersebut. Candi Kidal terbuat dari batu andesit dan berdimensi geometris vertikal. Kaki candi nampak agak tinggi dengan tangga masuk keatas kecil-kecil seolah-olah bukan tangga masuk sesungguhnya. Badan candi lebih kecil dibandingkan luas kaki serta atap candi sehingga memberi kesan ramping. Pada kaki dan tubuh candi terdapat hiasan medallion serta sabuk melingkar menghiasi badan candi. Atap candi terdiri atas 3 tingkat yang semakin keatas semakin kecil dengan bagian paling atas mempunyai permukaan cukup luas tanpa hiasan atap seperti ratna (ciri khas candi Hindu) atau stupa (ciri khas candi Budha). Masing-masing tingkat disisakan ruang agak luas dan diberi hiasan. Konon tiap pojok tingkatan atap tersebut dulu disungging dengan berlian kecil.
Hal menonjol lainnya adalah kepala kala yang dipahatkan di atas pintu masuk dan bilik-bilik candi. Kala, salah satu aspek Dewa Siwa dan umumnya dikenal sebagai penjaga bangunan suci. Hiasan kepala kala Candi Kidal nampak menyeramkan dengan matanya melotot, mulutnya terbuka dan nampak dua taringnya yang besar dan bengkok memberi kesan dominan. Adanya taring tersebut juga merupakan ciri khas candi corak Jawa Timuran. Di sudut kiri dan kanannya terdapat jari tangan dengan mudra (sikap) mengancam. Maka sempurnalah tugasnya sebagai penjaga bangunan suci candi.


Pemugaran

Di sekeliling candi terdapat sisa-sisa pondasi dari sebuah tembok keliling yang berhasil digali kembali sebagai hasil pemugaran tahun 1990-an. Terdapat tangga masuk menuju kompleks candi disebelah barat melalui tembok tersebut namun sulit dipastikan apakah memang demikian aslinya. Jika dilihat dari perspektif tanah sekeliling dengan dataran kompleks candi, nampak candi kompleks Kidal agak menjorok kedalam sekitar 1 meter dari permukaan sekarang ini. Apakah dataran candi merupakan permukaan tanah sesungguhnya akibat dari bencana alam seperti banjir atau gunung meletus tidak dapat diketahui dengan pasti.
Dirunut dari usianya, Candi Kidal merupakan candi tertua dari peninggalan candi-candi periode Jawa Timur pasca Jawa Tengah (abad ke-5 – 10 M). Hal ini karena periode Mpu Sindok (abad X M), Airlangga (abad XI M) dan Kediri (abad XII M) sebelumnya tidak meninggalkan sebuah candi, kecuali Candi Belahan (Gempol) dan Jolotundo (Trawas) yang sesungguhnya bukan merupakan candi melainkan petirtaan. Sesungguhnya ada candi yang lebih tua yakni Candi Kagenengan yang menurut versi kitab Nagarakretagama tempat di-dharma-kannya, Ken Arok, ayah tiri Anusapati. Namun sayang candi ini sampai sekarang belum pernah ditemukan.

Relief Garuda


Relief I: Garuda melayani para ular

Relief II: Garuda mengambil tirta amerta
Relief III: Garuda menyelamatkan ibunya
Pada bagian kaki candi terpahatkan 3 buah relief indah yang menggambarkan cerita legenda Garudeya (Garuda). Cerita ini sangat popular dikalangan masyarakat Jawa saat itu sebagai cerita moral tentang pembebasan atau ruwatan Kesusastraan Jawa kuno berbentuk kakawin tersebut, mengisahkan tentang perjalanan Garuda dalam membebaskan ibunya dari perbudakan dengan penebusan air suci amerta.
Cerita ini juga ada pada candi Jawa Timur yang lain yakni di candi Sukuh (lereng utara G. Lawu). Cerita Garuda sangat dikenal masyarakat pada waktu berkembang pesat agama Hindu aliran Waisnawa (Wisnu) terutama pada periode kerajaan Kahuripan dan Kediri. Sampai-sampai Airlangga, raja Kahuripan, setelah meninggal diujudkan sebagai dewa Wisnu pada candi Belahan dan Jolotundo, dan patung Wisnu di atas Garuda paling indah sekarang masih tersimpan di museum Trowulan dan diduga berasal dari candi Belahan.
Narasi cerita Garudeya pada candi Kidal dipahatkan dalam 3 relief dan masing-masing terletak pada bagian tengah sisi-sisi kaki candi kecuali pintu masuk. Pembacaannya dengan cara prasawiya (berjalan berlawanan arah jarum jam) dimulai dari sisi sebelah selatan atau sisi sebelah kanan tangga masuk candi. Relief pertama menggambarkan Garuda dibawah 3 ekor ular, relief kedua melukiskan Garuda dengan kendi di atas kepalanya, dan relief ketiga Garuda menggendong seorang wanita. Di antara ketiga relief tersebut, relief kedua adalah yang paling indah dan masih utuh.
Dikisahkan bahwa Kadru dan Winata adalah 2 bersaudara istri resi Kasiapa. Kadru mempunyai anak angkat 3 ekor ular dan Winata memiliki anak angkat Garuda. Kadru yang pemalas merasa bosan dan lelah harus mengurusi 3 anak angkatnya yang nakal-nakal karena sering menghilang di antara semak-semak. Timbullah niat jahat Kadru untuk menyerahkan tugas ini kepada Winata. Diajaklah Winata bertaruh pada ekor kuda putih Uraiswara yang sering melewati rumah mereka dan yang kalah harus menurut segala perintah pemenang. Dengan tipu daya, akhirnya Kadru berhasil menjadi pemenang. Sejak saat itu Winata diperintahkan melayani segala keperluan Kadru serta mengasuh ketiga ular anaknya setiap hari. Winata selanjutnya meminta pertolongan Garuda untuk membantu tugas-tugas tersebut. (relief pertama).
Ketika Garuda tumbuh besar, dia bertanya kepada ibunya mengapa dia dan ibunya harus menjaga 3 saudara angkatnya sedangkan bibinya tidak. Setelah diceritakan tentang pertaruhan kuda Uraiswara, maka Garuda mengerti. Suatu hari ditanyakanlah kepada 3 ekor ular tersebut bagaimana caranya supaya ibunya dapat terbebas dari perbudakan ini. Dijawab oleh ular "bawakanlah aku air suci amerta yang disimpan di kahyangan serta dijaga para dewa, dan berasal dari lautan susu". Garuda menyanggupi dan segera mohon izin ibunya untuk berangkat ke kahyangan. Tentu saja para dewa tidak menyetujui keinginan Garuda sehingga terjadilah perkelahian. Namun berkat kesaktian Garuda para dewa dapat dikalahkan. Melihat kekacauan ini Bathara Wisnu turun tangan dan Garuda akhirnya dapat dikalahkan. Setelah mendengar cerita Garuda tentang tujuannya mendapatkan amerta, maka Wisnu memperbolehkan Garuda meminjam amerta untuk membebaskan ibunya dan dengan syarat Garuda juga harus mau menjadi tungganggannya. Garuda menyetujuinya. Sejak saat itu pula Garuda menjadi tunggangan Bathara Wisnu seperti nampak pada patung-patung Wisnu yang umumnya duduk di atas Garuda. Garuda turun kembali ke bumi dengan amerta. (relief kedua).
Dengan bekal air suci amerta inilah akhirnya Garuda dapat membebaskan ibunya dari perbudakan atas Kadru. Hal ini digambarkan pada relief ketiga dimana Garuda dengan gagah perkasa menggendong ibunya dan bebas dari perbudakan. (relief ketiga)

Ruwatan

Berbeda dengan candi-candi Jawa Tengah, candi Jawa Timuran berfungsi sebagai tempat pen-dharma-an (kuburan) raja, sedangkan candi-candi Jawa Tengah dibangun untuk memuliakan agama yang dianut raja beserta masyarakatnya. Seperti dijelaskan dalam kitab Negarakretagama bahwa raja Wisnuwardhana didharmakan di candi Jago, Kertanegara di candi Jawi dan Singosari, Hayam Wuruk di candi Ngetos, dsb.
Dalam filosofi Jawa asli, candi juga berfungsi sebagai tempat ruwatan raja yang telah meninggal supaya kembali suci dan dapat menitis kembali menjadi dewa. Ide ini berkaitan erat dengan konsep "Dewa-Raja" yang berkembang kuat di Jawa saat itu. Dan untuk menguatkan prinsip ruwatan tersebut sering dipahatkan relief-relief cerita moral dan legenda pada kaki candi, seperti pada candi Jago, Surowono, Tigowangi, Jawi, dan lain lain. Berkaitan dengan prinsip tersebut, dan sesuai dengan kitab Negarakretagama, maka candi Kidal merupakan tempat diruwatnya raja Anusapati dan dimuliakan sebagai Siwa. Sebuah patung Siwa yang indah dan sekarang masih tersimpan di museum Leiden - Belanda diduga kuat berasal dari candi Kidal. Sebuah pertanyaan, mengapa dipahatkan relief Garudeya? Apa hubungannya dengan Anusapati?.
Kemungkinan besar sebelum meninggal, Anusapati berpesan kepada keluarganya agar kelak candi yang didirikan untuknya supaya dibuatkan relief Garudeya. Dia sengaja berpesan demikian karena bertujuan meruwat ibunya, Kendedes, yang sangat dicintainya, namun selalu menderita selama hidupnya dan belum sepenuhnya menjadi wanita utama.
Dalam prasati Mula Malurung, dikisahkan bahwa Kendedes adalah putri Mpu Purwa dari pedepokan di daerah Kepanjen – Malang yang cantik jelita tiada tara. Kecantikan Ken Dedes begitu tersohor hingga akuwu Tunggul Ametung, terpaksa menggunakan kekerasan untuk dapat menjadikan dia sebagai istrinya prameswari. Setelah menjadi istri Tunggul Ametung, ternyata Ken Dedes juga menjadi penyebab kematian suaminya yang sekaligus ayah Anusapati karena dibunuh oleh Ken Arok, ayah tirinya.
Hal ini terjadi karena Ken Arok, yang secara tak sengaja ditaman Boboji kerajaan Tumapel melihat mengeluarkan sinar kemilau keluar dari aurat Kendedes. Setelah diberitahu oleh pendeta Lohgawe, bahwa wanita mana saja yang mengeluarkan sinar demikian adalah wanita ardanareswari, yakni wanita yang mampu melahirkan raja-raja besar di Jawa. Sesuai dengan ambisi Ken Arok maka diapun membunuh Tunggul Ametung serta memaksa kawin dengan Kendedes. Sementara itu setelah mengawini Kendedes, Ken Arok masih juga mengawini Ken Umang dan menurut cerita tutur Ken Arok lebih menyayangi istri keduanya dari pada Ken Dedes; Sehingga Ken Dedes diabaikan.
Berlandaskan uraian di atas, maka pemberian relief Garudeya pada candi Kidal oleh Anusapati bertujuan untuk meruwat ibunya Ken Dedes yang cantik jelita namun nestapa hidupnya. Anusapati sangat berbakti dan mencintai ibunya. Dia ingin ibunya menjadi suci kembali sebagai wanita sempurna lepas dari penderitaan dan nestapa.
sumber : http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=2965830697099894320#editor/target=post;postID=8617299151663891705


Candi Singosari











Gambar Candi Singosari









[navigasi.net] Budaya - Candi Singosari
Bagian atas yang merupakan badan candi


Candi Singosariterletak di desa ,Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang. Ditemukan pada sekitar awal abad 18 (tahun 1800-1850) dengan pemberian nama/sebutan Candi Menara oleh orang Belanda.  Mungkin pemberian nama ini disebabkan bentuknya yang menyerupai menara. Sempat juga diberi nama Candi Cella oleh seorang ahli purbakala bangsa Eropa dengan berpedoman adanya empat buah celah pada dinding-dinidng dibagian tubuhnya. Juga menurut laporan dari W. Van Schmid yang mengunjungi candi ini pada tahun 1856, penduduk setempat menamakan Candi Cungkup. Akhirnya nama yang hingga sekarang dipakai adalah Candi Singosari karena letaknya di Singosari, adapula sebagian orang menyebutnya dengan Candi Renggo karena letaknya didesa Candirenggo.
Menurut laporan tertulis dari para pengunjung Candi Singosari dari tahun 1803 sampai 1939, dikatakan bahwa Candi Singosari merupakan kompleks percandian yang luas. Didalam kompleks tersebut didapatkan tujuh buah bangunan candi yang sudah runtuh dan banyak arca berserakan disana-sini. Salah satu dari tujuh candi yang dapat diselematkan dari kemusnahan adalah candi yang sekarang kita sebut Candi Singosari. Adapun arca-arcanya banyak yang dibawa ke Belanda, sedangkan arca-arca yang saat ini berada dihalaman Candi Singosari sekarang ini, berasal dari candi-candi yang sudah musnah itu.







[navigasi.net] Budaya - Candi Singosari
Arca resi Agatya yang tidak ikut dibawa ke negeri belanda oleh penjajah


Bentuk bangunan Candi Singosari sendiri bisa dibilang istimewa, karena candi itu seolah-olah mempunyai dua tingkatan. Seharusnya bilik-bilik candi berada pada bagian badan candi, pada Candi Singosari justru terdapat pada kaki candi. Bilik-bilik tersebut pada awalnya juga terdapat arca didalamnya yakni disebelah utara berisi arca Durgamahisasuramardhini, sebelah timur berisi arca Ganesha dan dibagian selatan terdapat arca Resi Guru yang biasa terkenal dengan sebutan Resi Agastya. Namun saat ini hanya tinggal arca Resi Agastya saja, sedangkan arca lainnya telah dibawa ke Leidan - Belanda. Alasan mengapa arca resi Agastya tidak dibawa serta ke Belanda adalah mungkin dikarenakan kondisinya yang sudah rusak cukup parah, sehingga tidak layak dibawa sebagai hadiah kepada penguasa negeri belanda pada saat itu.







[navigasi.net] Budaya - Candi Singosari
Arca Dewi Parwati dengan kepala "aneh"-nya. Bagian kepala asli sebenarnya telah hilang dan tidak diketemukan


Hal lain yang menarik untuk diamati pada Candi Singosari ini adalah hiasan candi. Umumnya bangunan candi dihias dengan hiasan yang rata pada seluruh badan atau bagian candi. Pada Candi Singosari kita tidak mendapatkan hal yang demikian. Hiasan Candi Singosari tidak seluruhnya diselesaikan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Candi Singosari dahulu belum selesai dikerjakan tapi kemudian ditinggalkan. Sebab-sebab ditinggalkan tersebut dihubungkan dengan dengan adanya peperangan, yaitu serangan dari raja Jayakatwang dari kerajaan Gelang-gelang terhadap Raja Kertanegara kerajaan Singhasari yang terjadi pada sekitar tahun 1292. Serangan raja Jayakatwang tersebut dapat menghancurkan kerajaan Singhasari. Raja Kertanegara beserta pengikutnya dibunuh.  Diduga  karena masa kehancuran (pralaya) kerajaan Singhasari itulah, maka Candi Singosari tidak terselesaikan dan akhirnya terbengkalai.
Ketidak selesaian bangunan candi ini bermanfaat juga bagi kita yang ingin mengetahui teknik pembuatan ornamen (hiasan) candi. Tampak bahwa hiasan itu dikerjakan dari atas ke bawah. Bagian atas dikerjakan dengan sempurna, bagian tubuh candi (tengah) sebagian sudah selesai sedangkan bagian bawah sama sekali belum diselesaikan.
Dihalaman Candi Singosari masih terdapat beberapa arca yang tersisa, beberapa diantaranya berupa tubuh dewa/dewi meskipun bisa dibilang tidak utuh lagi. Bahkan terdapat satu arca Dewi Parwati yang memiliki bagian kepala yang terlihat "aneh". nampaknya bagian tersebut bukan merupakan kepala arca yang sebenarnya. Karena kepala arca yang sebenarnya diduga putus dan tidak ditemukan kembali.
Berkunjung ke Candi Singosari ini sambil memegang buku panduan wisata yang bercerita tentang sejarah candi Singosari, sempat menimbulkan kesedihan dihati saya. Betapa tidak, dibeberapa bagian halaman buku tersebut terpampang jelas foto-foto arca yang telah dibawa ke negeri Belanda, lengkap beserta penjelasan posisi/sikap beserta atribut-atibut yang dikenakan oleh tokoh arca tersebut. Foto-foto yang ada menunjukkan bahwa apa yang mereka (penjajah) bawa kenegeri mereka, memang merupakan arca yang masih utuh dengan tingkat seni yang bisa dibanggakan. Suatu hal yang bisa dibilang "perampokan" oleh bangsa Belanda terhadap seni-budaya bangsa Indonesia..
sumber: artikel di lokasi wisata dan buku Petunjuk Wisata Sejarah Kabupaten Malang

Jejak Dinasti Penguasa Nusantara

ornamen 664x1024 Candi Singosari, Jejak Dinasti Penguasa 
Nusantaracandi 768x1024 Candi Singosari, Jejak Dinasti Penguasa Nusantara


Tau nggak, kalau ada candi di Indonesia yang ternyata belum selesai dibangun? Ya, itulah Candi Singosari. Candi yang merupakan peninggalan Kerajaan Singhasari (1222-1292 M) ini nyatanya adalah sebuah karya yang terbengkalai, alias ditinggalkan saat masih dalam proses pengerjaan.
Masak sih? Padahal candi itu kelihatan utuh kok?
Kalau teman-teman berkunjung ke Candi Singosari, cobalah perhatikan dengan seksama. Seperti candi pada umumnya, dinding Candi Singosari juga dihiasi ornamen ukiran. Namun, ornamen pada candi ini tampak seperti belum selesai. Pada bagian atas candi, ukiran ornamen terlihat detail, rata, dan rapi. Tetapi di bagian bawah candi, ukiran ornamen tampak kasar dan tidak mendetail, menandakan bahwa ornamen tersebut masih setengah jadi. Padahal menurut Wikipedia, candi ini dibangun dengan sistem menumpuk batu andhesit hingga ketinggian tertentu, lalu mengukirnya dari atas baru turun ke bawah. Ukiran di bawah yang masih belum jadi memperkuat dugaan bahwa candi ini sebenarnya belum selesai dibangun. Begitchu…!
Perhatikan perbedaan ornamen candi yang dilingkari
Lantas, apa sebabnya candi ini nggak selesai dibangun Jawabannya nggak ada yang pasti. Sejarawan hanya bisa menduga-duga. Konon, candi ini dibangun sebagai tempat pemujaan Dewa Syiwa. Namun, dalam proses pengerjaannya, Kerajaan Singhasari mendadak “gonjang-ganjing”. Kertanegara, raja termasyhur sekaligus raja terakhir Singhasari, tiba-tiba diserang oleh Jayakatwang, raja bawahannya dari Kadiri. Pemberontakan itu sangat tak terduga. Mulanya, Kertanegara mengira Jayakatwang akan menyerang dari arah Utara Kerajaan, sehingga ia mengirim Raden Wijaya, menantunya untuk menghalau serangan tersebut. Nyatanya, serangan dari utara itu hanyalah pancingan agar Istana kosong tanpa penjagaan. Saat itulah, Jayakatwang dan pasukan lainnya menerobos masuk Istana Singhasari dari arah Selatan. Dengan cepat istana pun diserang, Kertanegara dibunuh, dan Kerajaan Singhasari akhirnya runtuh. Tamat deh!
Keruntuhan Singhasari itulah yang diperkirakan menghentikan pengerjaan candi ini. Candi yang belum selesai itu konon dijadikan tempat pendharmaan bagi Kertanegara, sang raja terakhir.
Nah, Candi Singosari adalah tempat kontemplasi yang tepat untuk merenungi sejarah Nusantara dalam bingkai Dinasti Rajasa, dinasti para raja Singhasari dan Majapahit. Kalau teman-teman tertarik, silakan datang saja ke Jalan Kertanegara, Desa Candirenggo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang. Letaknya nggak jauh kok dari pusat keramaian, hanya beberapa ratus meter dari Pasar Singosari. Kompleks candi ini bersih dan indah. Kalau masuk kita harus mengisi buku tamu, lalu mengisi “uang kas” seikhlasnya kepada penjaga pos, yaa kira-kira goceng lah.
Sebelum datang ke tempat ini, ada baiknya teman-teman sudah memiliki sedikit pengetahuan tentang sejarah Kerajaan Singhasari dan Majapahit. Kalau sudah “mudheng” ceritanya, rasanya melihat candi ini akan lebih “marem”. Di sini kita bisa menghayati benar kisah-kisah para raja leluhur yang penuh intrik tetapi sungguh menarik. Berikut ini saya paparkan beberapa hasil ngelamun perenungan sejarah saat berwisata ke Candi Singosari…

Ken Dedes, Ibunda para Raja

Di halaman kompleks Candi Singosari, ada arca-arca yang dipajang berjejer lurus dengan pos jaga. Arca-arca tersebut dahulunya ditemukan bersama reruntuhan Candi Singosari pada tahun 1800-an. Sebagian arca diboyong ke Museum Leiden oleh penjajah Belanda tukang nyolong warisan budaya negara lain dan sisanya ditinggalkan di sekeliling candi. Kalau kita perhatikan, salah satu dari arca tersebut ada yang tidak punya kepala alias kepalanya hancur!
Arca itu sebenarnya adalah salah satu dari tiga arca Dewi Prajnaparamita yang telah ditemukan sejarawan. Dua arca ditemukan di Candi Singosari, sedangkan satu arca lagi di Candi Gilang, Tulungagung. Namun, di Candi Singosari hanya arca tanpa kepala yang bisa kita saksikan sekarang. Lantas, di mana arca Prajnaparamita satunya—yang masih utuh, cantik, nan anggun???
Usut punya usut, arca itu ternyata dahulu juga ikut diboyong ke Museum Leiden, Belanda. Untungnya, pada 1978 akhirnya Pemerintah Belanda mau mengembalikan arca tersebut dan kini disimpan di Museum Nasional Jakarta. Fyuhhh…

Emangnya apa sih istimewanya arca itu?
2011 12 29 12.17.36 225x300 Candi Singosari, Jejak Dinasti 
Penguasa Nusantara
Arca Prajnaparamita tanpa kepala

Oleh para sejarawan, arca Dewi Prajnaparamita ini diyakini sebagai perwujudan dari Ken Dedes, permaisuri Ken Arok yang merupakan pendiri Dinasti Rajasa. Dalam kitab Pararaton, diceritakan bahwa Ken Dedes adalah seorang nareswari, perempuan istimewa yang ditakdirkan menjadi “ibu para raja”. Lelaki manapun yang menikahinya akan menjadi seorang raja. Tanda-tandanya adalah, dari “daerah kewanitaannya” memancarkan cahaya yang terang benderang. (nah lho…! hebring banget tuh...
Oleh karena itulah, saat tak sengaja melihat kain Ken Dedes tersingkap di Taman Boboji, Ken Arok langsung berhasrat ingin menikahinya karena melihat “sinar” tersebut. Padahal, saat itu Arok telah memiliki istri bernama Ken Umang. Namun ambisi Arok menjadi seorang raja membuat dia memaksa ingin menikahi Dedes dan menjadikannya permaisuri—meskipun saat itu Dedes telah bersuamikan Tunggul Ametung.
Alhasil, pada suatu malam Arok pun membunuh Tunggul Ametung di tempat tidurnya dengan keris Mpu Gandring, disaksikan oleh Dedes yang saat itu tidur di samping suaminya. Arok pun menjadi penguasa Tumapel dan menikahi Dedes. Selanjutnya, ia menaklukkan Raja Kertajaya dari Kadiri, lalu mendirikan Kerajaan Singhasari. Di kemudian hari, ramalan Dedes sebagai perempuan nareswari ternyata terbukti. Raja-raja Singhasari dan Majapahit semuanya adalah keturunan langsung dari rahim Ken Dedes, baik hasil pernikahannya dengan Tunggul Ametung maupun dengan Ken Arok. Keturunan Ken Arok dengan istrinya yang lain justru tidak bertahan lama menjadi raja.
Keberadaan Ken Dedes menjadikan Dinasti Rajasa terasa istimewa. Dinasti kerajaan terbesar di Nusantara itu ternyata berpangkal pada seorang perempuan, bukan seorang laki-laki. Ken Dedes mengejawantahkan peran utama seorang perempuan sebagai ibu. Melalui Ken Dedes kita dapat melihat bahwa generasi yang istimewa, terlahir dari seorang ibu yang istimewa.

Raden Wijaya, Pejuang yang Bertahan Hidup

2011 12 29 12.05.40 225x300 Candi Singosari, Jejak Dinasti 
Penguasa Nusantara
Buah Maja di kompleks Candi Singosari

Di dalam kompleks Candi Singosari ditanam beberapa batang pohon Maja dengan buahnya yang bergelantungan lebat. Buah Maja bentuknya bulat besar seukuran jeruk Bali, tapi sangat pahit jika dimakan. Buah inilah yang ditemukan oleh Raden Wijaya, seorang survivor bangsawan Singhasari yang lolos dari penyerbuan Jayakatwang, saat dia membuka daerah baru di suatu hutan.
Bagaimana kisahnya Raden Wijaya bisa selamat dari keruntuhan Singhasari? Alkisah saat Istana Singhasari diserbu Jayakatwang pada 1292, Raden Wijaya dan pasukan Singhasari sedang bertempur di Utara Kerajaan. Ketika ia kembali, Istana Singhasari telah hancur lebur dan Kertanegara sudah dibunuh. Raden Wijaya pun melarikan diri bersama keempat putri Kertanegara, lalu meminta perlindungan kepada Arya Wiraraja, penguasa Sumenep, Madura.
Dengan bantuan Arya Wiraraja, Raden Wijaya berpura-pura menyerah kepada Jayakatwang, lalu memohon untuk diberikan sebidang tanah di Hutan Tarik, sebelah timur Kadiri. Di hutan inilah ia kemudian membangun sebuah desa bernama Majapahit, diambil dari nama pohon Maja berbuah pahit yang banyak terdapat di hutan itu.
Tak dinyana, tak diduga, ndilalah tak sampai setahun kemudian, pada 1293 Kerajaan Mongol mengerahkan 20.000 pasukan dan 1.000 kapal untuk menyerang Kertanegara dan Kerajaan Singhasari. Mereka merasa terhina atas sikap Kertanegara dahulu yang tidak mau tunduk kepada Raja Kubilai Khan dari Mongol, sehingga memutuskan menyerang Singhasari. Namun sesampainya di Jawa, pasukan Mongol mendapat kabar “ngglethek” bahwa Kertanegara ternyata telah tewas dan Singhasari kini dikuasai Jayakatwang.
Tapi kedatangan pasukan Mongol ini berhasil dimanfaatkan dengan cerdik oleh Raden Wijaya. Dia bergabung dengan pasukan Mongol dan membantu mereka menyerang Jayakatwang. Pasukan Mongol sih oke-oke saja karena merasa terbantu dengan dukungan “orang dalam”. Setelah Jayakatwang kalah dalam pertempuran besar itu, pasukan Mongol pun berpesta pora.
Tak disangka, sebulan kemudian Raden Wijaya ganti memberontak dan menyerang pasukan Mongol. Saat itu Raden Wijaya dikawal 200 prajurit Mongol menuju Majapahit untuk mempersiapkan persembahan kepada Kubilai Khan. Namun di tengah perjalanan apa yang terjadi? Raden Wijaya dan para prajuritnya justru berbalik membunuh pasukan Mongol tersebut. Wow! Lalu dengan pasukan yang lebih besar, Raden Wijaya memukul mundur seluruh pasukan Mongol yang ada di Jawa, dan memaksa mereka kembali ke negaranya. Kapok koen!
Setelah itu Raden Wijaya pun resmi mendirikan kerajaan baru bernama Majapahit dan menjadi rajanya yang pertama bergelar Prabu Kertarajasa Jayawardana. Hebat kan? Kalau kita cermati, berdirinya Majapahit itu berlangsung hanya sekitar setahun setelah runtuhnya Singhasari. Kebangkitan Dinasti Rajasa yang sangat cepat itu tidak lepas dari taktik Raden Wijaya yang sangat lihai. Melalui sosoknya, kita dapat melihat bahwa untuk bangkit dari kehancuran, dibutuhkan pejuang yang tangguh dan cerdik seperti Raden Wijaya, tidak putus asa dan mampu bertahan hidup!
***
dinasti rajasa1 227x300 Candi Singosari, Jejak Dinasti Penguasa 
Nusantara
Silsilah Dinasti Rajasa

Demikianlah selarik kisah tentang Kerajaan Singhasari dan Majapahit, yang direfleksikan melalui kontemplasi di Candi Singosari. Sebagai jejak peninggalan Dinasti Rajasa, pesona Candi Singosari sungguh menawan. Kisah mengenai dinasti penguasa Nusantara ini banyak termaktub dalam kitab kuno, prasasti, dan catatan kerajaan lain di luar negeri. Kedua kerajaan yang mereka dirikan (Singhasari dan Majapahit) memang termasyhur di kalangan sejarawan mancanegara. Kitab Nagarakretagama yang merupakan sumber utama kisah Dinasti Rajasa bahkan diterjemahkan oleh sejarawan Belanda, Dr Pigeaud. Banyak tulisan-tulisan Barat menceritakan tentang Ken Arok dan Ken Dedes. Karena itu, sering pula para wisatawan asing berkunjung ke Candi Singosari.
Sebagai putra Indonesia, kita juga harus memahami sejarah bangsa sendiri. Dengan mengunjungi objek wisata sejarah seperti Candi Singosari, ternyata banyak sekali ilmu yang didapat. Ingat, jejak sejarah akan selalu berulang. Intrik politik yang kita lihat pada zaman sekarang, sesungguhnya telah ada sejak zaman kerajaan dahulu kala. Hasut menghasut dan bunuh membunuh seperti sudah menjadi lakon manusia yang telah dirasuki nafsu kekuasaan. Kerajaan Singhasari yang didirikan dengan pertumpahan darah, berakhir pula dengan pertumpahan darah. Namun dari kekalahan dan keruntuhan itu, ternyata masih ada pejuang yang bisa bertahan, tidak putus asa melanjutkan perjuangan. Kerajaan baru pun tumbuh berkembang lagi menjadi kerajaan yang jauh lebih besar daripada sebelumnya.
Karena itu, seperti kata Bung Karno, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Dengan mempelajari sejarah, kita akan lebih mengenal dan menyadari siapa diri kita sebenarnya. Karena pemahaman yang dalam akan masa lalu, membuat kita lebih berhati-hati sebelum melangkah di masa depan…
sumber : http://umihabibah.com/candi-singosari-jejak-dinasti-penguasa-nusantara/



Pengertian Kuda Lumping

Kuda lumping juga disebut jaran kepang atau jathilan adalah tarian tradisional Jawa menampilkan sekelompok prajurit tengah menunggang kuda. Tarian ini menggunakan kuda yang terbuat dari bambu yang di anyam dan dipotong menyerupai bentuk kuda. Anyaman kuda ini dihias dengan cat dan kain beraneka warna. Tarian kuda lumping biasanya hanyamenampilkan adegan prajurit berkuda, akan tetapi beberapa penampilan kuda lumping juga menyuguhkan atraksi kesurupan, kekebalan, dan kekuatan magis, seperti atraksi memakan beling dan kekebalan tubuh terhadap deraan pecut. Jaran Kepang merupakan bagian dari pagelaran tari reog. Meskipun tarian ini berasal dari Jawa, Indonesia, tarian ini juga diwariskan oleh kaum Jawa yang menetap di Sumatera Utara dan di beberapa daerah di luar Indonesia seperti di Malaysia.
Kuda lumping adalah seni tari yang dimainkan dengan properti berupa kuda tiruan, yang terbuat dari anyaman bambu atau kepang. Tidak satupun catatan sejarah mampu menjelaskan asal mula tarian ini, hanya riwayat verbal yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Sejarah

Konon, tari kuda lumping merupakan bentuk apresiasi dan dukungan rakyat jelata terhadap pasukan berkuda Pangeran Diponegoro dalam menghadapi penjajah Belanda. Ada pula versi yang menyebutkan, bahwa tari kuda lumping menggambarkan kisah perjuangan Raden Patah, yang dibantu oleh Sunan Kalijaga, melawan penjajah Belanda. Versi lain menyebutkan bahwa, tarian ini mengisahkan tentang latihan perang pasukan Mataram yang dipimpin Sultan Hamengku Buwono I, Raja Mataram, untuk menghadapi pasukan Belanda.
Add caption
Terlepas dari asal usul dan nilai historisnya, tari kuda lumping merefleksikan semangat heroisme dan aspek kemiliteran sebuah pasukan berkuda atau kavaleri. Hal ini terlihat dari gerakan-gerakan ritmis, dinamis, dan agresif, melalui kibasan anyaman bambu, menirukan gerakan layaknya seekor kuda di tengah peperangan.
Seringkali dalam pertunjukan tari kuda lumping, juga menampilkan atraksi yang mempertontonkan kekuatan supranatural berbau magis, seperti atraksi mengunyah kaca, menyayat lengan dengan golok, membakar diri, berjalan di atas pecahan kaca, dan lain-lain. Mungkin, atraksi ini merefleksikan kekuatan supranatural yang pada zaman dahulu berkembang di lingkungan Kerajaan Jawa, dan merupakan aspek non militer yang dipergunakan untuk melawan pasukan Belanda.

Variasi Lokal

Di Jawa Timur, seni ini akrab dengan masyarakat di beberapa daerah, seperti Malang, Nganjuk, Tulungagung, dan daerah-daerah lainnya. Tari ini biasanya ditampilkan pada event-event tertentu, seperti menyambut tamu kehormatan, dan sebagai ucapan syukur, atas hajat yang dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa.
Dalam pementasanya, tidak diperlukan suatu koreografi khusus, serta perlengkapan peralatan gamelan seperti halnya Karawitan. Gamelan untuk mengiringi tari kuda lumping cukup sederhana, hanya terdiri dari Kendang, Kenong, Gong, dan Slompret, yaitu seruling dengan bunyi melengking. Sajak-sajak yang dibawakan dalam mengiringi tarian, biasanya berisikan himbauan agar manusia senantiasa melakukan perbuatan baik dan selalu ingat pada Sang Pencipta.
Selain mengandung unsur hiburan dan religi, kesenian tradisional kuda lumping ini seringkali juga mengandung unsur ritual. Karena sebelum pagelaran dimulai, biasanya seorang pawang hujan akan melakukan ritual, untuk mempertahankan cuaca agar tetap cerah mengingat pertunjukan biasanya dilakukan di lapangan terbuka.

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Kuda_lumping

Jumat, 03 Februari 2012

Keaneragaman Budaya Indonesia (Budayaku Budayamu Budaya Kita)

Reog (Ponorogo)


sejarah


Pertunjukan reog di Ponorogo tahun 1920. Selain reog, terdapat pula penari kuda kepang dan bujangganong.
Ada lima versi cerita populer yang berkembang di masyarakat tentang asal-usul Reog dan Warok [1], namun salah satu cerita yang paling terkenal adalah cerita tentang pemberontakan Ki Ageng Kutu, seorang abdi kerajaan pada masa Bhre Kertabhumi, Raja Majapahit terakhir yang berkuasa pada abad ke-15. Ki Ageng Kutu murka akan pengaruh kuat dari pihak istri raja Majapahit yang berasal dari Cina, selain itu juga murka kepada rajanya dalam pemerintahan yang korup, ia pun melihat bahwa kekuasaan Kerajaan Majapahit akan berakhir. Ia lalu meninggalkan sang raja dan mendirikan perguruan di mana ia mengajar seni bela diri kepada anak-anak muda, ilmu kekebalan diri, dan ilmu kesempurnaan dengan harapan bahwa anak-anak muda ini akan menjadi bibit dari kebangkitan kerajaan Majapahit kembali. Sadar bahwa pasukannya terlalu kecil untuk melawan pasukan kerajaan maka pesan politis Ki Ageng Kutu disampaikan melalui pertunjukan seni Reog, yang merupakan "sindiran" kepada Raja Kertabhumi dan kerajaannya. Pagelaran Reog menjadi cara Ki Ageng Kutu membangun perlawanan masyarakat lokal menggunakan kepopuleran Reog.
Dalam pertunjukan Reog ditampilkan topeng berbentuk kepala singa yang dikenal sebagai "Singa barong", raja hutan, yang menjadi simbol untuk Kertabhumi, dan diatasnya ditancapkan bulu-bulu merak hingga menyerupai kipas raksasa yang menyimbolkan pengaruh kuat para rekan Cinanya yang mengatur dari atas segala gerak-geriknya. Jatilan, yang diperankan oleh kelompok penari gemblak yang menunggangi kuda-kudaan menjadi simbol kekuatan pasukan Kerajaan Majapahit yang menjadi perbandingan kontras dengan kekuatan warok, yang berada dibalik topeng badut merah yang menjadi simbol untuk Ki Ageng Kutu, sendirian dan menopang berat topeng singabarong yang mencapai lebih dari 50 kg hanya dengan menggunakan giginya [2]. Kepopuleran Reog Ki Ageng Kutu akhirnya menyebabkan Bhre Kertabhumi mengambil tindakan dan menyerang perguruannya, pemberontakan oleh warok dengan cepat diatasi, dan perguruan dilarang untuk melanjutkan pengajaran akan warok. Namun murid-murid Ki Ageng kutu tetap melanjutkannya secara diam-diam. Walaupun begitu, kesenian Reognya sendiri masih diperbolehkan untuk dipentaskan karena sudah menjadi pertunjukan populer di antara masyarakat, namun jalan ceritanya memiliki alur baru di mana ditambahkan karakter-karakter dari cerita rakyat Ponorogo yaitu Kelono Sewandono, Dewi Songgolangit, dan Sri Genthayu.
Versi resmi alur cerita Reog Ponorogo kini adalah cerita tentang Raja Ponorogo yang berniat melamar putri Kediri, Dewi Ragil Kuning, namun di tengah perjalanan ia dicegat oleh Raja Singabarong dari Kediri. Pasukan Raja Singabarong terdiri dari merak dan singa, sedangkan dari pihak Kerajaan Ponorogo Raja Kelono dan Wakilnya Bujang Anom, dikawal oleh warok (pria berpakaian hitam-hitam dalam tariannya), dan warok ini memiliki ilmu hitam mematikan. Seluruh tariannya merupakan tarian perang antara Kerajaan Kediri dan Kerajaan Ponorogo, dan mengadu ilmu hitam antara keduanya, para penari dalam keadaan "kerasukan" saat mementaskan tariannya[3].
Hingga kini masyarakat Ponorogo hanya mengikuti apa yang menjadi warisan leluhur mereka sebagai warisan budaya yang sangat kaya. Dalam pengalamannya Seni Reog merupakan cipta kreasi manusia yang terbentuk adanya aliran kepercayaan yang ada secara turun temurun dan terjaga. Upacaranya pun menggunakan syarat-syarat yang tidak mudah bagi orang awam untuk memenuhinya tanpa adanya garis keturunan yang jelas. mereka menganut garis keturunan Parental dan hukum adat yang masih berlaku.

Pementasan Seni Reog


Reog Ponorogo
Reog modern biasanya dipentaskan dalam beberapa peristiwa seperti pernikahan, khitanan dan hari-hari besar Nasional. Seni Reog Ponorogo terdiri dari beberapa rangkaian 2 sampai 3 tarian pembukaan. Tarian pertama biasanya dibawakan oleh 6-8 pria gagah berani dengan pakaian serba hitam, dengan muka dipoles warna merah. Para penari ini menggambarkan sosok singa yang pemberani. Berikutnya adalah tarian yang dibawakan oleh 6-8 gadis yang menaiki kuda. Pada reog tradisionil, penari ini biasanya diperankan oleh penari laki-laki yang berpakaian wanita. Tarian ini dinamakan tari jaran kepang atau jathilan, yang harus dibedakan dengan seni tari lain yaitu tari kuda lumping.
Tarian pembukaan lainnya jika ada biasanya berupa tarian oleh anak kecil yang membawakan adegan lucu yang disebut Bujang Ganong atau Ganongan.
Setelah tarian pembukaan selesai, baru ditampilkan adegan inti yang isinya bergantung kondisi dimana seni reog ditampilkan. Jika berhubungan dengan pernikahan maka yang ditampilkan adalah adegan percintaan. Untuk hajatan khitanan atau sunatan, biasanya cerita pendekar,
Adegan dalam seni reog biasanya tidak mengikuti skenario yang tersusun rapi. Disini selalu ada interaksi antara pemain dan dalang (biasanya pemimpin rombongan) dan kadang-kadang dengan penonton. Terkadang seorang pemain yang sedang pentas dapat digantikan oleh pemain lain bila pemain tersebut kelelahan. Yang lebih dipentingkan dalam pementasan seni reog adalah memberikan kepuasan kepada penontonnya.
Adegan terakhir adalah singa barong, dimana pelaku memakai topeng berbentuk kepala singa dengan mahkota yang terbuat dari bulu burung merak. Berat topeng ini bisa mencapai 50-60 kg. Topeng yang berat ini dibawa oleh penarinya dengan gigi. Kemampuan untuk membawakan topeng ini selain diperoleh dengan latihan yang berat, juga dipercaya diproleh dengan latihan spiritual seperti puasa dan tapa.

Tokoh-tokoh dalam seni Reog

Tari Jathil


Jathilan (depan)
Jathil adalah prajurit berkuda dan merupakan salah satu tokoh dalam seni Reog. Jathilan merupakan tarian yang menggambarkan ketangkasan prajurit berkuda yang sedang berlatih di atas kuda. Tarian ini dibawakan oleh penari di mana antara penari yang satu dengan yang lainnya saling berpasangan. Ketangkasan dan kepiawaian dalam berperang di atas kuda ditunjukkan dengan ekspresi atau greget sang penari.[4]
Jathilan ini pada mulanya ditarikan oleh laki-laki yang halus, berparas ganteng atau mirip dengan wanita yang cantik. Gerak tarinya pun lebih cenderung feminin. Sejak tahun 1980-an ketika tim kesenian Reog Ponorogo hendak dikirim ke Jakarta untuk pembukaan PRJ (Pekan Raya Jakarta), penari jathilan diganti oleh para penari putri dengan alasan lebih feminin. Ciri-ciri kesan gerak tari Jathilan pada kesenian Reog Ponorogo lebih cenderung pada halus, lincah, genit. Hal ini didukung oleh pola ritmis gerak tari yang silih berganti antara irama mlaku (lugu) dan irama ngracik.[5]

 Tari Warok


Warok Ponorogo
"Warok" yang berasal dari kata wewarah adalah orang yang mempunyai tekad suci, memberikan tuntunan dan perlindungan tanpa pamrih. Warok adalah wong kang sugih wewarah (orang yang kaya akan wewarah). Artinya, seseorang menjadi warok karena mampu memberi petunjuk atau pengajaran kepada orang lain tentang hidup yang baik.Warok iku wong kang wus purna saka sakabehing laku, lan wus menep ing rasa (Warok adalah orang yang sudah sempurna dalam laku hidupnya, dan sampai pada pengendapan batin).[6]
Warok merupakan karakter/ciri khas dan jiwa masyarakat Ponorogo yang telah mendarah daging sejak dahulu yang diwariskan oleh nenek moyang kepada generasi penerus. Warok merupakan bagian peraga dari kesenian Reog yang tidak terpisahkan dengan peraga yang lain dalam unit kesenian Reog Ponorogo. Warok adalah seorang yang betul-betul menguasai ilmu baik lahir maupun batin.[4]

Barongan (Dadak merak)


Barongan (Dadak merak)
Barongan (Dadak merak) merupakan peralatan tari yang paling dominan dalam kesenian Reog Ponorogo. Bagian-bagiannya antara lain; Kepala Harimau (caplokan), terbuat dari kerangka kayu, bambu, rotan ditutup dengan kulit Harimau Gembong. Dadak merak, kerangka terbuat dari bambu dan rotan sebagai tempat menata bulu merak untuk menggambarkan seekor merak sedang mengembangkan bulunya dan menggigit untaian manik - manik (tasbih). Krakap terbuat dari kain beludru warna hitam disulam dengan monte, merupakan aksesoris dan tempat menuliskan identitas group reog. [4] Dadak merak ini berukuran panjang sekitar 2,25 meter, lebar sekitar 2,30 meter, dan beratnya hampir 50 kilogram.

Klono Sewandono


Prabu Klono Sewandono
Klono Sewandono atau Raja Kelono adalah seorang raja sakti mandraguna yang memiliki pusaka andalan berupa Cemeti yang sangat ampuh dengan sebutan Kyai Pecut Samandiman kemana saja pergi sang Raja yang tampan dan masih muda ini selalu membawa pusaka tersebut. Pusaka tersebut digunakan untuk melindungi dirinya. Kegagahan sang Raja di gambarkan dalam gerak tari yang lincah serta berwibawa, dalam suatu kisah Prabu Klono Sewandono berhasil menciptakan kesenian indah hasil dari daya ciptanya untuk menuruti permintaan Putri (kekasihnya). Karena sang Raja dalam keadaan mabuk asmara maka gerakan tarinyapun kadang menggambarkan seorang yang sedang kasmaran.[4]

Bujang Ganong (Ganongan)


Bujang Ganong (Ganongan)
Bujang Ganong (Ganongan) atau Patih Pujangga Anom adalah salah satu tokoh yang enerjik, kocak sekaligus mempunyai keahlian dalam seni bela diri sehingga disetiap penampilannya senantiasa di tunggu - tunggu oleh penonton khususnya anak - anak. Bujang Ganong menggambarkan sosok seorang Patih Muda yang cekatan, berkemauan keras, cerdik, jenaka dan sakti.[4]

Kontroversi


Foto tari Barongan di situs resmi Malaysia, yang memicu kontroversi.
Tarian sejenis Reog Ponorogo yang ditarikan di Malaysia dinamakan Tari Barongan tetapi memiliki unsur Islam[7]. Tarian ini juga menggunakan topeng dadak merak, yaitu topeng berkepala harimau yang di atasnya terdapat bulu-bulu merak. Deskripsi dan foto tarian ini ditampilkan dalam situs resmi Kementrian Kebudayaan Kesenian dan Warisan Malaysia.
Kontroversi timbul karena pada topeng dadak merak di situs resmi tersebut terdapat tulisan "Malaysia",[7][8] dan diakui sebagai warisan masyarakat keturunan Jawa yang banyak terdapat di Batu Pahat, Johor dan Selangor, Malaysia. Hal ini memicu protes berbagai pihak di Indonesia, termasuk seniman Reog asal Ponorogo yang menyatakan bahwa hak cipta kesenian Reog telah dicatatkan dengan nomor 026377 tertanggal 11 Februari 2004, dan dengan demikian diketahui oleh Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia.[9] Ditemukan pula informasi bahwa dadak merak yang terlihat di situs resmi tersebut adalah buatan pengrajin Ponorogo.[10] Ribuan seniman Reog sempat berdemonstrasi di depan Kedutaan Malaysia di Jakarta.[11] Pemerintah Indonesia menyatakan akan meneliti lebih lanjut hal tersebut.[9]
Pada akhir November 2007, Duta Besar Malaysia untuk Indonesia Datuk Zainal Abidin Muhammad Zain menyatakan bahwa Pemerintah Malaysia tidak pernah mengklaim Reog Ponorogo sebagai budaya asli negara itu. Reog yang disebut “Barongan” di Malaysia dapat dijumpai di Johor dan Selangor, karena dibawa oleh rakyat jawa yang meranatu di negri tersebut.

SUMBER : http://id.wikipedia.org/wiki/Reog_%28Ponorogo%29

Petunjulan Reog Ponorogo

reog151


Salah satu ciri khas seni budaya Kabupaten Ponorogo Jawa Timur adalah kesenian Reog Ponorogo. Reog, sering diidentikkan dengan dunia hitam, preman atau jagoan serta tak lepas pula dari dunia mistis dan kekuatan supranatural. Reog mempertontonkan keperkasaan pembarong dalam mengangkat dadak merak seberat sekitar 50 kilogram dengan kekuatan gigitan gigi sepanjang pertunjukan berlangsung. Instrumen pengiringnya, kempul, ketuk, kenong, genggam, ketipung, angklung dan terutama salompret, menyuarakan nada slendro dan pelog yang memunculkan atmosfir mistis, unik, eksotis serta membangkitkan semangat. Satu group Reog biasanya terdiri dari seorang Warok Tua, sejumlah warok muda, pembarong dan penari Bujang Ganong dan Prabu Kelono Suwandono. Jumlah kelompok reog berkisar antara 20 hingga 30-an orang, peran utama berada pada tangan warok dan pembarongnya.


reog241
Pembarong dengan Dadak Merak © 2005 arie saksono


Seorang pembarong, harus memiliki kekuatan ekstra. Dia harus mempunyai kekuatan rahang yang baik, untuk menahan dengan gigitannya beban “Dadak Merak” yakni sebentuk kepala harimau dihiasi ratusan helai bulu-bulu burung merak setinggi dua meter yang beratnya bisa mencapai 50-an kilogram selama masa pertunjukan. Konon kekuatan gaib sering dipakai pembarong untuk menambah kekuatan ekstra ini, salah satunya dengan cara memakai susuk, di leher pembarong. Untuk menjadi pembarong tidak cukup hanya dengan tubuh yang kuat. Seorang pembarong pun harus dilengkapi dengan sesuatu yang disebut kalangan pembarong dengan wahyu yang diyakini para pembarong sebagai sesuatu yang amat penting dalam hidup mereka. Tanpa diberkati wahyu, tarian yang ditampilkan seorang pembarong tidak akan tampak luwes dan enak untuk ditonton. Namun demikian persepsi misitis pembarong kini digeser dan lebih banyak dilakukan dengan pendekatan rasional. Menurut seorang sesepuh Reog, Mbah Wo Kucing “Reog itu nggak perlu ndadi. Kalau ndadi itu ya namanya bukan reog, itu jathilan. Dalam reog, yang perlu kan keindahannya“.

Legenda Cerita Reog
Reog dimanfaatkan sebagai sarana mengumpulkan massa dan merupakan saluran komunikasi yang efektif bagi penguasa pada waktu itu. Ki Ageng Mirah kemudian membuat cerita legendaris mengenai Kerajaan Bantaranangin yang oleh sebagian besar masyarakat Ponorogo dipercaya sebagai sejarah. Adipati Batorokatong yang beragama Islam juga memanfaatkan barongan ini untuk menyebarkan agama Islam. Nama Singa Barongan kemudian diubah menjadi Reog, yang berasal dari kata Riyoqun, yang berarti khusnul khatimah yang bermakna walaupun sepanjang hidupnya bergelimang dosa, namun bila akhirnya sadar dan bertaqwa kepada Allah, maka surga jaminannya. Selanjutnya kesenian reog terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Kisah reog terus menyadur cerita ciptaan Ki Ageng Mirah yang diteruskan mulut ke mulut, dari generasi ke generasi.
Menurut legenda Reog atau Barongan bermula dari kisah Demang Ki Ageng Kutu Suryonggalan yang ingin menyindir Raja Majapahit, Prabu Brawijaya V. Sang Prabu pada waktu itu sering tidak memenuhi kewajibannya karena terlalu dipengaruhi dan dikendalikan oleh sang permaisuri. Oleh karena itu dibuatlah barongan yang terbuat dari kulit macan gembong (harimau Jawa) yang ditunggangi burung merak. Sang prabu dilambangkan sebagai harimau sedangkan merak yang menungganginya melambangkan sang permaisuri. Selain itu agar sindirannya tersebut aman, Ki Ageng melindunginya dengan pasukan terlatih yang diperkuat dengan jajaran para warok yang sakti mandraguna. Di masa kekuasaan Adipati Batorokatong yang memerintah Ponorogo sekitar 500 tahun lalu, reog mulai berkembang menjadi kesenian rakyat. Pendamping Adipati yang bernama Ki Ageng Mirah menggunakan reog untuk mengembangkan kekuasaannya.
Reog mengacu pada beberapa babad, Salah satunya adalah babad Kelana Sewandana. Babad Klana Sewandana yang konon merupakan pakem asli seni pertunjukan reog. Mirip kisah Bandung Bondowoso dalam legenda Lara Jongrang, Babad Klono Sewondono juga berkisah tentang cinta seorang raja, Sewondono dari Kerajaan Jenggala, yang hampir ditolak oleh Dewi Sanggalangit dari Kerajaan Kediri. Sang putri meminta Sewondono untuk memboyong seluruh isi hutan ke istana sebagai mas kawin. Demi memenuhi permintaan sang putri, Sewandono harus mengalahkan penunggu hutan, Singa Barong (dadak merak). Namun hal tersebut tentu saja tidak mudah. Para warok, prajurit, dan patih dari Jenggala pun menjadi korban. Bersenjatakan cemeti pusaka Samandiman, Sewondono turun sendiri ke gelanggang dan mengalahkan Singobarong. Pertunjukan reog digambarkan dengan tarian para prajurit yang tak cuma didominasi para pria tetapi juga wanita, gerak bringasan para warok, serta gagah dan gebyar kostum Sewandana, sang raja pencari cinta.
Versi lain dalam Reog Ponorogo mengambil kisah Panji. Ceritanya berkisar tentang perjalanan Prabu Kelana Sewandana mencari gadis pujaannya, ditemani prajurit berkuda dan patihnya yang setia, Pujangganong. Ketika pilihan sang prabu jatuh pada putri Kediri, Dewi Sanggalangit, sang dewi memberi syarat bahwa ia akan menerima cintanya apabila sang prabu bersedia menciptakan sebuah kesenian baru. Dari situ terciptalah Reog Ponorogo. Huruf-huruf reyog mewakili sebuah huruf depan kata-kata dalam tembang macapat Pocung yang berbunyi: Rasa kidung/ Ingwang sukma adiluhung/ Yang Widhi/ Olah kridaning Gusti/ Gelar gulung kersaning Kang Maha Kuasa. Unsur mistis merupakan kekuatan spiritual yang memberikan nafas pada kesenian Reog Ponorogo.

Warok
Warok sampai sekarang masih mendapat tempat sebagai sesepuh di masyarakatnya. Kedekatannya dengan dunia spiritual sering membuat seorang warok dimintai nasehatnya atas sebagai pegangan spiritual ataupun ketentraman hidup. Seorang warok konon harus menguasai apa yang disebut Reh Kamusankan Sejati, jalan kemanusiaan yang sejati.

Legenda REOG PONOROGO dan WAROK


reog231
Warok dalam pertunjukan Reog Ponorogo © 2005 arie saksono
Warok adalah pasukan yang bersandar pada kebenaran dalam pertarungan antara kebaikan dan kejahatan dalam cerita kesenian reog. Warok Tua adalah tokoh pengayom, sedangkan Warok Muda adalah warok yang masih dalam taraf menuntut ilmu. Hingga saat ini, Warok dipersepsikan sebagai tokoh yang pemerannya harus memiliki kekuatan gaib tertentu. Bahkan tidak sedikit cerita buruk seputar kehidupan warok. Warok adalah sosok dengan stereotip: memakai kolor, berpakaian hitam-hitam, memiliki kesaktian dan gemblakan.Menurut sesepuh warok, Kasni Gunopati atau yang dikenal Mbah Wo Kucing, warok bukanlah seorang yang takabur karena kekuatan yang dimilikinya. Warok adalah orang yang mempunyai tekad suci, siap memberikan tuntunan dan perlindungan tanpa pamrih. “Warok itu berasal dari kata wewarah. Warok adalah wong kang sugih wewarah. Artinya, seseorang menjadi warok karena mampu memberi petunjuk atau pengajaran kepada orang lain tentang hidup yang baik”.Warok iku wong kang wus purna saka sakabehing laku, lan wus menep ing rasa” (Warok adalah orang yang sudah sempurna dalam laku hidupnya, dan sampai pada pengendapan batin).

Syarat menjadi Warok
Warok harus menjalankan laku. “Syaratnya, tubuh harus bersih karena akan diisi. Warok harus bisa mengekang segala hawa nafsu, menahan lapar dan haus, juga tidak bersentuhan dengan perempuan. Persyaratan lainnya, seorang calon warok harus menyediakan seekor ayam jago, kain mori 2,5 meter, tikar pandan, dan selamatan bersama. Setelah itu, calon warok akan ditempa dengan berbagai ilmu kanuragan dan ilmu kebatinan. Setelah dinyatakan menguasai ilmu tersebut, ia lalu dikukuhkan menjadi seorang warok sejati. Ia memperoleh senjata yang disebut kolor wasiat, serupa tali panjang berwarna putih, senjata andalan para warok. Warok sejati pada masa sekarang hanya menjadi legenda yang tersisa. Beberapa kelompok warok di daerah-daerah tertentu masih ada yang memegang teguh budaya mereka dan masih dipandang sebagai seseorang yang dituakan dan disegani, bahkan kadang para pejabat pemerintah selalu meminta restunya.

Gemblakan
Selain segala persyaratan yang harus dijalani oleh para warok tersebut, selanjutnya muncul disebut dengan Gemblakan. Dahulu warok dikenal mempunyai banyak gemblak, yaitu lelaki belasan tahun usia 12-15 tahun berparas tampan dan terawat yang dipelihara sebagai kelangenan, yang kadang lebih disayangi ketimbang istri dan anaknya. Memelihara gemblak adalah tradisi yang telah berakar kuat pada komunitas seniman reog. Bagi seorang warok hal tersebut adalah hal yang wajar dan diterima masyarakat. Konon sesama warok pernah beradu kesaktian untuk memperebutkan seorang gemblak idaman dan selain itu kadang terjadi pinjam meminjam gemblak. Biaya yang dikeluarkan warok untuk seorang gemblak tidak murah. Bila gemblak bersekolah maka warok yang memeliharanya harus membiayai keperluan sekolahnya di samping memberinya makan dan tempat tinggal. Sedangkan jika gemblak tidak bersekolah maka setiap tahun warok memberikannya seekor sapi. Dalam tradisi yang dibawa oleh Ki Ageng Suryongalam, kesaktian bisa diperoleh bila seorang warok rela tidak berhubungan seksual dengan perempuan. Hal itu konon merupakan sebuah keharusan yang berasal dari perintah sang guru untuk memperoleh kesaktian.
Kewajiban setiap warok untuk memelihara gemblak dipercaya agar bisa mempertahankan kesaktiannya. Selain itu ada kepercayaan kuat di kalangan warok, hubungan intim dengan perempuan biarpun dengan istri sendiri, bisa melunturkan seluruh kesaktian warok. Saling mengasihi, menyayangi dan berusaha menyenangkan merupakan ciri khas hubungan khusus antara gemblak dan waroknya. Praktik gemblakan di kalangan warok, diidentifikasi sebagai praktik homoseksual karena warok tak boleh mengumbar hawa nafsu kepada perempuan.
Saat ini memang sudah terjadi pergeseran dalam hubungannya dengan gemblakan. Di masa sekarang gemblak sulit ditemui. Tradisi memelihara gemblak, kini semakin luntur. Gemblak yang dahulu biasa berperan sebagai penari jatilan (kuda lumping), kini perannya digantikan oleh remaja putri. Padahal dahulu kesenian ini ditampilkan tanpa seorang wanita pun.

Reog di masa sekarang
Seniman Reog Ponorogo lulusan sekolah-sekolah seni turut memberikan sentuhan pada perkembangan tari reog ponorogo. Mahasiswa sekolah seni memperkenalkan estetika seni panggung dan gerakan-gerakan koreografis, maka jadilah reog ponorogo dengan format festival seperti sekarang. Ada alur cerita, urut-urutan siapa yang tampil lebih dulu, yaitu Warok, kemudian jatilan, Bujangganong, Klana Sewandana, barulah Barongan atau Dadak Merak di bagian akhir. Saat salah satu unsur tersebut beraksi, unsur lain ikut bergerak atau menari meski tidak menonjol. Beberapa tahun yang lalu Yayasan Reog Ponorogo memprakarsai berdirinya Paguyuban Reog Nusantara yang anggotanya terdiri atas grup-grup reog dari berbagai daerah di Indonesia yang pernah ambil bagian dalam Festival Reog Nasional. Reog ponorogo menjadi sangat terbuka akan pengayaan dan perubahan ragam geraknya.

SUMBER:  http://ariesaksono.wordpress.com/2007/11/30/legenda-reog-ponorogo-dan-warok/