Reog (Ponorogo)
sejarah
Dalam pertunjukan Reog ditampilkan topeng berbentuk kepala singa yang dikenal sebagai "Singa barong", raja hutan, yang menjadi simbol untuk Kertabhumi, dan diatasnya ditancapkan bulu-bulu merak hingga menyerupai kipas raksasa yang menyimbolkan pengaruh kuat para rekan Cinanya yang mengatur dari atas segala gerak-geriknya. Jatilan, yang diperankan oleh kelompok penari gemblak yang menunggangi kuda-kudaan menjadi simbol kekuatan pasukan Kerajaan Majapahit yang menjadi perbandingan kontras dengan kekuatan warok, yang berada dibalik topeng badut merah yang menjadi simbol untuk Ki Ageng Kutu, sendirian dan menopang berat topeng singabarong yang mencapai lebih dari 50 kg hanya dengan menggunakan giginya [2]. Kepopuleran Reog Ki Ageng Kutu akhirnya menyebabkan Bhre Kertabhumi mengambil tindakan dan menyerang perguruannya, pemberontakan oleh warok dengan cepat diatasi, dan perguruan dilarang untuk melanjutkan pengajaran akan warok. Namun murid-murid Ki Ageng kutu tetap melanjutkannya secara diam-diam. Walaupun begitu, kesenian Reognya sendiri masih diperbolehkan untuk dipentaskan karena sudah menjadi pertunjukan populer di antara masyarakat, namun jalan ceritanya memiliki alur baru di mana ditambahkan karakter-karakter dari cerita rakyat Ponorogo yaitu Kelono Sewandono, Dewi Songgolangit, dan Sri Genthayu.
Versi resmi alur cerita Reog Ponorogo kini adalah cerita tentang Raja Ponorogo yang berniat melamar putri Kediri, Dewi Ragil Kuning, namun di tengah perjalanan ia dicegat oleh Raja Singabarong dari Kediri. Pasukan Raja Singabarong terdiri dari merak dan singa, sedangkan dari pihak Kerajaan Ponorogo Raja Kelono dan Wakilnya Bujang Anom, dikawal oleh warok (pria berpakaian hitam-hitam dalam tariannya), dan warok ini memiliki ilmu hitam mematikan. Seluruh tariannya merupakan tarian perang antara Kerajaan Kediri dan Kerajaan Ponorogo, dan mengadu ilmu hitam antara keduanya, para penari dalam keadaan "kerasukan" saat mementaskan tariannya[3].
Hingga kini masyarakat Ponorogo hanya mengikuti apa yang menjadi warisan leluhur mereka sebagai warisan budaya yang sangat kaya. Dalam pengalamannya Seni Reog merupakan cipta kreasi manusia yang terbentuk adanya aliran kepercayaan yang ada secara turun temurun dan terjaga. Upacaranya pun menggunakan syarat-syarat yang tidak mudah bagi orang awam untuk memenuhinya tanpa adanya garis keturunan yang jelas. mereka menganut garis keturunan Parental dan hukum adat yang masih berlaku.
Pementasan Seni Reog
Reog modern biasanya dipentaskan dalam beberapa peristiwa seperti pernikahan, khitanan dan hari-hari besar Nasional. Seni Reog Ponorogo terdiri dari beberapa rangkaian 2 sampai 3 tarian pembukaan. Tarian pertama biasanya dibawakan oleh 6-8 pria gagah berani dengan pakaian serba hitam, dengan muka dipoles warna merah. Para penari ini menggambarkan sosok singa yang pemberani. Berikutnya adalah tarian yang dibawakan oleh 6-8 gadis yang menaiki kuda. Pada reog tradisionil, penari ini biasanya diperankan oleh penari laki-laki yang berpakaian wanita. Tarian ini dinamakan tari jaran kepang atau jathilan, yang harus dibedakan dengan seni tari lain yaitu tari kuda lumping.Tarian pembukaan lainnya jika ada biasanya berupa tarian oleh anak kecil yang membawakan adegan lucu yang disebut Bujang Ganong atau Ganongan.
Setelah tarian pembukaan selesai, baru ditampilkan adegan inti yang isinya bergantung kondisi dimana seni reog ditampilkan. Jika berhubungan dengan pernikahan maka yang ditampilkan adalah adegan percintaan. Untuk hajatan khitanan atau sunatan, biasanya cerita pendekar,
Adegan dalam seni reog biasanya tidak mengikuti skenario yang tersusun rapi. Disini selalu ada interaksi antara pemain dan dalang (biasanya pemimpin rombongan) dan kadang-kadang dengan penonton. Terkadang seorang pemain yang sedang pentas dapat digantikan oleh pemain lain bila pemain tersebut kelelahan. Yang lebih dipentingkan dalam pementasan seni reog adalah memberikan kepuasan kepada penontonnya.
Adegan terakhir adalah singa barong, dimana pelaku memakai topeng berbentuk kepala singa dengan mahkota yang terbuat dari bulu burung merak. Berat topeng ini bisa mencapai 50-60 kg. Topeng yang berat ini dibawa oleh penarinya dengan gigi. Kemampuan untuk membawakan topeng ini selain diperoleh dengan latihan yang berat, juga dipercaya diproleh dengan latihan spiritual seperti puasa dan tapa.
Tokoh-tokoh dalam seni Reog
Tari Jathil
Jathil adalah prajurit berkuda dan merupakan salah satu tokoh dalam seni Reog. Jathilan merupakan tarian yang menggambarkan ketangkasan prajurit berkuda yang sedang berlatih di atas kuda. Tarian ini dibawakan oleh penari di mana antara penari yang satu dengan yang lainnya saling berpasangan. Ketangkasan dan kepiawaian dalam berperang di atas kuda ditunjukkan dengan ekspresi atau greget sang penari.[4]Jathilan ini pada mulanya ditarikan oleh laki-laki yang halus, berparas ganteng atau mirip dengan wanita yang cantik. Gerak tarinya pun lebih cenderung feminin. Sejak tahun 1980-an ketika tim kesenian Reog Ponorogo hendak dikirim ke Jakarta untuk pembukaan PRJ (Pekan Raya Jakarta), penari jathilan diganti oleh para penari putri dengan alasan lebih feminin. Ciri-ciri kesan gerak tari Jathilan pada kesenian Reog Ponorogo lebih cenderung pada halus, lincah, genit. Hal ini didukung oleh pola ritmis gerak tari yang silih berganti antara irama mlaku (lugu) dan irama ngracik.[5]
Tari Warok
"Warok" yang berasal dari kata wewarah adalah orang yang mempunyai tekad suci, memberikan tuntunan dan perlindungan tanpa pamrih. Warok adalah wong kang sugih wewarah (orang yang kaya akan wewarah). Artinya, seseorang menjadi warok karena mampu memberi petunjuk atau pengajaran kepada orang lain tentang hidup yang baik.Warok iku wong kang wus purna saka sakabehing laku, lan wus menep ing rasa (Warok adalah orang yang sudah sempurna dalam laku hidupnya, dan sampai pada pengendapan batin).[6]Warok merupakan karakter/ciri khas dan jiwa masyarakat Ponorogo yang telah mendarah daging sejak dahulu yang diwariskan oleh nenek moyang kepada generasi penerus. Warok merupakan bagian peraga dari kesenian Reog yang tidak terpisahkan dengan peraga yang lain dalam unit kesenian Reog Ponorogo. Warok adalah seorang yang betul-betul menguasai ilmu baik lahir maupun batin.[4]
Barongan (Dadak merak)
Barongan (Dadak merak) merupakan peralatan tari yang paling dominan dalam kesenian Reog Ponorogo. Bagian-bagiannya antara lain; Kepala Harimau (caplokan), terbuat dari kerangka kayu, bambu, rotan ditutup dengan kulit Harimau Gembong. Dadak merak, kerangka terbuat dari bambu dan rotan sebagai tempat menata bulu merak untuk menggambarkan seekor merak sedang mengembangkan bulunya dan menggigit untaian manik - manik (tasbih). Krakap terbuat dari kain beludru warna hitam disulam dengan monte, merupakan aksesoris dan tempat menuliskan identitas group reog. [4] Dadak merak ini berukuran panjang sekitar 2,25 meter, lebar sekitar 2,30 meter, dan beratnya hampir 50 kilogram.Klono Sewandono
Klono Sewandono atau Raja Kelono adalah seorang raja sakti mandraguna yang memiliki pusaka andalan berupa Cemeti yang sangat ampuh dengan sebutan Kyai Pecut Samandiman kemana saja pergi sang Raja yang tampan dan masih muda ini selalu membawa pusaka tersebut. Pusaka tersebut digunakan untuk melindungi dirinya. Kegagahan sang Raja di gambarkan dalam gerak tari yang lincah serta berwibawa, dalam suatu kisah Prabu Klono Sewandono berhasil menciptakan kesenian indah hasil dari daya ciptanya untuk menuruti permintaan Putri (kekasihnya). Karena sang Raja dalam keadaan mabuk asmara maka gerakan tarinyapun kadang menggambarkan seorang yang sedang kasmaran.[4]Bujang Ganong (Ganongan)
Bujang Ganong (Ganongan) atau Patih Pujangga Anom adalah salah satu tokoh yang enerjik, kocak sekaligus mempunyai keahlian dalam seni bela diri sehingga disetiap penampilannya senantiasa di tunggu - tunggu oleh penonton khususnya anak - anak. Bujang Ganong menggambarkan sosok seorang Patih Muda yang cekatan, berkemauan keras, cerdik, jenaka dan sakti.[4]Kontroversi
Kontroversi timbul karena pada topeng dadak merak di situs resmi tersebut terdapat tulisan "Malaysia",[7][8] dan diakui sebagai warisan masyarakat keturunan Jawa yang banyak terdapat di Batu Pahat, Johor dan Selangor, Malaysia. Hal ini memicu protes berbagai pihak di Indonesia, termasuk seniman Reog asal Ponorogo yang menyatakan bahwa hak cipta kesenian Reog telah dicatatkan dengan nomor 026377 tertanggal 11 Februari 2004, dan dengan demikian diketahui oleh Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia.[9] Ditemukan pula informasi bahwa dadak merak yang terlihat di situs resmi tersebut adalah buatan pengrajin Ponorogo.[10] Ribuan seniman Reog sempat berdemonstrasi di depan Kedutaan Malaysia di Jakarta.[11] Pemerintah Indonesia menyatakan akan meneliti lebih lanjut hal tersebut.[9]
Pada akhir November 2007, Duta Besar Malaysia untuk Indonesia Datuk Zainal Abidin Muhammad Zain menyatakan bahwa Pemerintah Malaysia tidak pernah mengklaim Reog Ponorogo sebagai budaya asli negara itu. Reog yang disebut “Barongan” di Malaysia dapat dijumpai di Johor dan Selangor, karena dibawa oleh rakyat jawa yang meranatu di negri tersebut.
SUMBER : http://id.wikipedia.org/wiki/Reog_%28Ponorogo%29
Petunjulan Reog Ponorogo
Salah satu
ciri khas seni budaya Kabupaten Ponorogo Jawa Timur adalah kesenian Reog
Ponorogo. Reog,
sering diidentikkan dengan dunia hitam, preman atau jagoan serta tak
lepas pula dari dunia mistis dan kekuatan supranatural. Reog
mempertontonkan keperkasaan pembarong dalam mengangkat dadak merak
seberat sekitar 50 kilogram dengan kekuatan gigitan gigi sepanjang
pertunjukan berlangsung. Instrumen pengiringnya, kempul, ketuk, kenong,
genggam, ketipung, angklung dan terutama salompret, menyuarakan nada
slendro dan pelog yang memunculkan atmosfir mistis, unik, eksotis serta
membangkitkan semangat. Satu group Reog biasanya terdiri dari seorang
Warok Tua, sejumlah warok muda, pembarong dan penari Bujang Ganong dan
Prabu Kelono Suwandono. Jumlah kelompok reog berkisar antara 20 hingga
30-an orang, peran utama berada pada tangan warok dan pembarongnya.

Pembarong dengan Dadak Merak © 2005 arie saksono
Seorang pembarong, harus memiliki kekuatan ekstra. Dia harus mempunyai kekuatan rahang yang baik, untuk menahan dengan gigitannya beban “Dadak Merak” yakni sebentuk kepala harimau dihiasi ratusan helai bulu-bulu burung merak setinggi dua meter yang beratnya bisa mencapai 50-an kilogram selama masa pertunjukan. Konon kekuatan gaib sering dipakai pembarong untuk menambah kekuatan ekstra ini, salah satunya dengan cara memakai susuk, di leher pembarong. Untuk menjadi pembarong tidak cukup hanya dengan tubuh yang kuat. Seorang pembarong pun harus dilengkapi dengan sesuatu yang disebut kalangan pembarong dengan wahyu yang diyakini para pembarong sebagai sesuatu yang amat penting dalam hidup mereka. Tanpa diberkati wahyu, tarian yang ditampilkan seorang pembarong tidak akan tampak luwes dan enak untuk ditonton. Namun demikian persepsi misitis pembarong kini digeser dan lebih banyak dilakukan dengan pendekatan rasional. Menurut seorang sesepuh Reog, Mbah Wo Kucing “Reog itu nggak perlu ndadi. Kalau ndadi itu ya namanya bukan reog, itu jathilan. Dalam reog, yang perlu kan keindahannya“.
Legenda Cerita Reog
Reog dimanfaatkan sebagai
sarana mengumpulkan massa dan merupakan saluran komunikasi yang efektif
bagi penguasa pada waktu itu. Ki Ageng Mirah kemudian membuat cerita
legendaris mengenai Kerajaan Bantaranangin yang oleh sebagian besar
masyarakat Ponorogo dipercaya sebagai sejarah. Adipati Batorokatong yang
beragama Islam juga memanfaatkan barongan ini untuk menyebarkan agama
Islam. Nama Singa Barongan kemudian diubah menjadi Reog, yang berasal
dari kata Riyoqun, yang berarti khusnul khatimah yang bermakna walaupun
sepanjang hidupnya bergelimang dosa, namun bila akhirnya sadar dan
bertaqwa kepada Allah, maka surga jaminannya. Selanjutnya kesenian reog
terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Kisah reog terus
menyadur cerita ciptaan Ki Ageng Mirah yang diteruskan mulut ke mulut,
dari generasi ke generasi.
Menurut legenda Reog atau
Barongan bermula dari kisah Demang Ki Ageng Kutu Suryonggalan yang
ingin menyindir Raja Majapahit, Prabu Brawijaya V. Sang Prabu pada waktu
itu sering tidak memenuhi kewajibannya karena terlalu dipengaruhi dan
dikendalikan oleh sang permaisuri. Oleh karena itu dibuatlah barongan
yang terbuat dari kulit macan gembong (harimau Jawa) yang ditunggangi
burung merak. Sang prabu dilambangkan sebagai harimau sedangkan merak
yang menungganginya melambangkan sang permaisuri. Selain itu agar
sindirannya tersebut aman, Ki Ageng melindunginya dengan pasukan
terlatih yang diperkuat dengan jajaran para warok yang sakti mandraguna.
Di masa
kekuasaan Adipati Batorokatong yang memerintah Ponorogo sekitar 500
tahun lalu, reog mulai berkembang menjadi kesenian rakyat. Pendamping
Adipati yang bernama Ki Ageng Mirah menggunakan reog untuk mengembangkan
kekuasaannya.
Reog mengacu pada
beberapa babad, Salah satunya adalah babad Kelana Sewandana. Babad Klana
Sewandana yang konon merupakan pakem asli seni pertunjukan reog. Mirip
kisah Bandung Bondowoso dalam legenda Lara Jongrang, Babad Klono
Sewondono juga berkisah tentang cinta seorang raja, Sewondono dari
Kerajaan Jenggala, yang hampir ditolak oleh Dewi Sanggalangit dari
Kerajaan Kediri. Sang putri meminta Sewondono untuk memboyong seluruh
isi hutan ke istana sebagai mas kawin. Demi memenuhi permintaan sang
putri, Sewandono harus mengalahkan penunggu hutan, Singa Barong (dadak
merak). Namun hal tersebut tentu saja tidak mudah. Para warok, prajurit,
dan patih dari Jenggala pun menjadi korban. Bersenjatakan cemeti pusaka
Samandiman, Sewondono turun sendiri ke gelanggang dan mengalahkan
Singobarong. Pertunjukan reog digambarkan dengan tarian para prajurit
yang tak cuma didominasi para pria tetapi juga wanita, gerak bringasan
para warok, serta gagah dan gebyar kostum Sewandana, sang raja pencari
cinta.
Versi lain dalam Reog
Ponorogo mengambil kisah Panji. Ceritanya berkisar tentang perjalanan
Prabu Kelana Sewandana mencari gadis pujaannya, ditemani prajurit
berkuda dan patihnya yang setia, Pujangganong. Ketika pilihan sang prabu
jatuh pada putri Kediri, Dewi Sanggalangit, sang dewi memberi syarat
bahwa ia akan menerima cintanya apabila sang prabu bersedia menciptakan
sebuah kesenian baru. Dari situ terciptalah Reog Ponorogo. Huruf-huruf reyog
mewakili sebuah huruf depan kata-kata dalam tembang macapat Pocung yang
berbunyi: Rasa kidung/ Ingwang sukma adiluhung/ Yang Widhi/ Olah
kridaning Gusti/ Gelar gulung kersaning Kang Maha Kuasa. Unsur mistis merupakan
kekuatan spiritual yang memberikan nafas pada kesenian Reog Ponorogo.
Warok
Warok sampai sekarang
masih mendapat tempat sebagai sesepuh di masyarakatnya. Kedekatannya
dengan dunia spiritual sering membuat seorang warok dimintai nasehatnya
atas sebagai pegangan spiritual ataupun ketentraman hidup. Seorang warok
konon harus menguasai apa yang disebut Reh Kamusankan Sejati, jalan
kemanusiaan yang sejati.
Legenda REOG PONOROGO dan WAROK
Warok adalah pasukan yang
bersandar pada kebenaran dalam pertarungan antara kebaikan dan
kejahatan dalam cerita kesenian reog. Warok Tua adalah tokoh pengayom,
sedangkan Warok Muda adalah warok yang masih dalam taraf menuntut ilmu.
Hingga saat ini, Warok dipersepsikan sebagai tokoh yang pemerannya harus
memiliki kekuatan gaib tertentu. Bahkan tidak sedikit cerita buruk
seputar kehidupan warok. Warok adalah sosok dengan stereotip: memakai
kolor, berpakaian hitam-hitam, memiliki kesaktian dan gemblakan.Menurut sesepuh warok,
Kasni Gunopati atau yang dikenal Mbah Wo Kucing, warok bukanlah seorang
yang takabur karena kekuatan yang dimilikinya. Warok adalah orang yang
mempunyai tekad suci, siap memberikan tuntunan dan perlindungan tanpa
pamrih. “Warok itu berasal dari kata wewarah. Warok adalah wong kang
sugih wewarah. Artinya, seseorang menjadi warok karena mampu memberi
petunjuk atau pengajaran kepada orang lain tentang hidup yang baik”.“Warok iku wong kang
wus purna saka sakabehing laku, lan wus menep ing rasa” (Warok
adalah orang yang sudah sempurna dalam laku hidupnya, dan sampai pada
pengendapan batin).
Syarat menjadi Warok
Warok harus menjalankan
laku. “Syaratnya, tubuh harus bersih karena akan diisi. Warok harus bisa
mengekang segala hawa nafsu, menahan lapar dan haus, juga tidak
bersentuhan dengan perempuan. Persyaratan lainnya, seorang calon warok harus
menyediakan seekor ayam jago, kain mori 2,5 meter, tikar pandan, dan
selamatan bersama. Setelah itu, calon warok akan ditempa dengan berbagai ilmu
kanuragan dan ilmu kebatinan. Setelah dinyatakan menguasai ilmu
tersebut, ia lalu dikukuhkan menjadi seorang warok sejati. Ia memperoleh
senjata yang disebut kolor wasiat, serupa tali panjang berwarna putih,
senjata andalan para warok. Warok sejati pada masa sekarang hanya menjadi
legenda yang tersisa. Beberapa kelompok warok di daerah-daerah tertentu
masih ada yang memegang teguh budaya mereka dan masih dipandang sebagai
seseorang yang dituakan dan disegani, bahkan kadang para pejabat
pemerintah selalu meminta restunya.
Gemblakan
Selain segala persyaratan
yang harus dijalani oleh para warok tersebut, selanjutnya muncul
disebut dengan Gemblakan. Dahulu warok dikenal mempunyai banyak gemblak,
yaitu lelaki belasan tahun usia 12-15 tahun berparas tampan dan terawat yang
dipelihara sebagai kelangenan, yang kadang lebih disayangi ketimbang istri
dan anaknya. Memelihara gemblak adalah tradisi yang telah berakar kuat
pada komunitas seniman reog. Bagi seorang warok hal tersebut adalah hal
yang wajar dan diterima masyarakat. Konon sesama warok pernah beradu
kesaktian untuk memperebutkan seorang gemblak idaman dan selain itu
kadang terjadi pinjam meminjam gemblak. Biaya yang dikeluarkan warok
untuk seorang gemblak tidak murah. Bila gemblak bersekolah maka warok
yang memeliharanya harus membiayai keperluan sekolahnya di samping
memberinya makan dan tempat tinggal. Sedangkan jika gemblak tidak
bersekolah maka setiap tahun warok memberikannya seekor sapi. Dalam tradisi yang dibawa
oleh Ki Ageng Suryongalam, kesaktian bisa diperoleh bila seorang warok
rela tidak berhubungan seksual dengan perempuan. Hal itu konon merupakan
sebuah keharusan yang berasal dari perintah sang guru untuk memperoleh
kesaktian.
Kewajiban setiap warok
untuk memelihara gemblak dipercaya agar bisa mempertahankan
kesaktiannya. Selain itu ada kepercayaan kuat di kalangan warok,
hubungan intim dengan perempuan biarpun dengan istri sendiri, bisa
melunturkan seluruh kesaktian warok. Saling mengasihi, menyayangi dan
berusaha menyenangkan merupakan ciri khas hubungan khusus antara gemblak
dan waroknya. Praktik gemblakan di kalangan warok, diidentifikasi sebagai
praktik homoseksual karena warok tak boleh mengumbar hawa nafsu kepada
perempuan.
Saat ini memang sudah
terjadi pergeseran dalam hubungannya dengan gemblakan. Di masa sekarang
gemblak sulit ditemui. Tradisi memelihara gemblak, kini semakin luntur. Gemblak yang
dahulu biasa berperan sebagai penari jatilan (kuda lumping), kini
perannya digantikan oleh remaja putri. Padahal dahulu kesenian ini
ditampilkan tanpa seorang wanita pun.
Reog di masa sekarang
Seniman Reog Ponorogo
lulusan sekolah-sekolah seni turut memberikan sentuhan pada perkembangan
tari reog ponorogo. Mahasiswa sekolah seni memperkenalkan estetika seni
panggung dan gerakan-gerakan koreografis, maka jadilah reog ponorogo
dengan format festival seperti sekarang. Ada alur cerita, urut-urutan siapa yang
tampil lebih dulu, yaitu Warok, kemudian jatilan, Bujangganong, Klana
Sewandana, barulah Barongan atau Dadak Merak di bagian akhir. Saat salah
satu unsur tersebut beraksi, unsur lain ikut bergerak atau menari meski
tidak menonjol. Beberapa tahun yang lalu Yayasan Reog Ponorogo memprakarsai
berdirinya Paguyuban Reog Nusantara yang anggotanya terdiri atas
grup-grup reog dari berbagai daerah di Indonesia yang pernah ambil
bagian dalam Festival Reog Nasional. Reog ponorogo menjadi sangat
terbuka akan pengayaan dan perubahan ragam geraknya.
SUMBER: http://ariesaksono.wordpress.com/2007/11/30/legenda-reog-ponorogo-dan-warok/

Tidak ada komentar:
Posting Komentar