Gambar Candi Singosari
![]() | ![]() | |
| [navigasi.net]
Budaya - Candi Singosari Bagian atas yang merupakan badan candi | ||
![]() | ![]() |
Candi Singosariterletak di desa ,Kecamatan Singosari,
Kabupaten Malang. Ditemukan pada sekitar awal abad 18 (tahun
1800-1850) dengan pemberian nama/sebutan Candi Menara oleh orang
Belanda. Mungkin pemberian nama ini disebabkan bentuknya yang
menyerupai menara. Sempat juga diberi nama Candi Cella oleh seorang
ahli purbakala bangsa Eropa dengan berpedoman adanya empat buah
celah pada dinding-dinidng dibagian tubuhnya. Juga menurut laporan
dari W. Van Schmid yang mengunjungi candi ini pada tahun 1856,
penduduk setempat menamakan Candi Cungkup. Akhirnya nama yang
hingga sekarang dipakai adalah Candi Singosari karena letaknya di
Singosari, adapula sebagian orang menyebutnya dengan Candi Renggo
karena letaknya didesa Candirenggo.
Menurut laporan tertulis dari para pengunjung Candi Singosari
dari tahun 1803 sampai 1939, dikatakan bahwa Candi Singosari
merupakan kompleks percandian yang luas. Didalam kompleks tersebut
didapatkan tujuh buah bangunan candi yang sudah runtuh dan banyak
arca berserakan disana-sini. Salah satu dari tujuh candi yang dapat
diselematkan dari kemusnahan adalah candi yang sekarang kita sebut
Candi Singosari. Adapun arca-arcanya banyak yang dibawa ke Belanda,
sedangkan arca-arca yang saat ini berada dihalaman Candi Singosari
sekarang ini, berasal dari candi-candi yang sudah musnah itu.![]() | ![]() | |
| [navigasi.net]
Budaya - Candi Singosari Arca resi Agatya yang tidak ikut dibawa ke negeri belanda oleh penjajah | ||
![]() | ![]() |
![]() | ![]() | |
| [navigasi.net]
Budaya - Candi Singosari Arca Dewi Parwati dengan kepala "aneh"-nya. Bagian kepala asli sebenarnya telah hilang dan tidak diketemukan | ||
![]() | ![]() |
Ketidak selesaian bangunan candi ini bermanfaat juga bagi kita yang ingin mengetahui teknik pembuatan ornamen (hiasan) candi. Tampak bahwa hiasan itu dikerjakan dari atas ke bawah. Bagian atas dikerjakan dengan sempurna, bagian tubuh candi (tengah) sebagian sudah selesai sedangkan bagian bawah sama sekali belum diselesaikan.
Dihalaman Candi Singosari masih terdapat beberapa arca yang tersisa, beberapa diantaranya berupa tubuh dewa/dewi meskipun bisa dibilang tidak utuh lagi. Bahkan terdapat satu arca Dewi Parwati yang memiliki bagian kepala yang terlihat "aneh". nampaknya bagian tersebut bukan merupakan kepala arca yang sebenarnya. Karena kepala arca yang sebenarnya diduga putus dan tidak ditemukan kembali.
Berkunjung ke Candi Singosari ini sambil memegang buku panduan wisata yang bercerita tentang sejarah candi Singosari, sempat menimbulkan kesedihan dihati saya. Betapa tidak, dibeberapa bagian halaman buku tersebut terpampang jelas foto-foto arca yang telah dibawa ke negeri Belanda, lengkap beserta penjelasan posisi/sikap beserta atribut-atibut yang dikenakan oleh tokoh arca tersebut. Foto-foto yang ada menunjukkan bahwa apa yang mereka (penjajah) bawa kenegeri mereka, memang merupakan arca yang masih utuh dengan tingkat seni yang bisa dibanggakan. Suatu hal yang bisa dibilang "perampokan" oleh bangsa Belanda terhadap seni-budaya bangsa Indonesia..
sumber: artikel di lokasi wisata dan buku Petunjuk Wisata Sejarah Kabupaten Malang
Jejak Dinasti Penguasa Nusantara
Tau nggak, kalau ada candi di Indonesia yang ternyata belum selesai dibangun? Ya, itulah Candi Singosari. Candi yang merupakan peninggalan Kerajaan Singhasari (1222-1292 M) ini nyatanya adalah sebuah karya yang terbengkalai, alias ditinggalkan saat masih dalam proses pengerjaan.
Masak sih? Padahal candi itu kelihatan utuh kok?Kalau teman-teman berkunjung ke Candi Singosari, cobalah perhatikan dengan seksama. Seperti candi pada umumnya, dinding Candi Singosari juga dihiasi ornamen ukiran. Namun, ornamen pada candi ini tampak seperti belum selesai. Pada bagian atas candi, ukiran ornamen terlihat detail, rata, dan rapi. Tetapi di bagian bawah candi, ukiran ornamen tampak kasar dan tidak mendetail, menandakan bahwa ornamen tersebut masih setengah jadi. Padahal menurut Wikipedia, candi ini dibangun dengan sistem menumpuk batu andhesit hingga ketinggian tertentu, lalu mengukirnya dari atas baru turun ke bawah. Ukiran di bawah yang masih belum jadi memperkuat dugaan bahwa candi ini sebenarnya belum selesai dibangun. Begitchu…!
Perhatikan
perbedaan ornamen candi yang dilingkari
Keruntuhan Singhasari itulah yang diperkirakan menghentikan pengerjaan candi ini. Candi yang belum selesai itu konon dijadikan tempat pendharmaan bagi Kertanegara, sang raja terakhir.
Nah, Candi Singosari adalah tempat kontemplasi yang tepat untuk merenungi sejarah Nusantara dalam bingkai Dinasti Rajasa, dinasti para raja Singhasari dan Majapahit. Kalau teman-teman tertarik, silakan datang saja ke Jalan Kertanegara, Desa Candirenggo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang. Letaknya nggak jauh kok dari pusat keramaian, hanya beberapa ratus meter dari Pasar Singosari. Kompleks candi ini bersih dan indah. Kalau masuk kita harus mengisi buku tamu, lalu mengisi “uang kas” seikhlasnya kepada penjaga pos, yaa kira-kira goceng lah.
Sebelum datang ke tempat ini, ada baiknya teman-teman sudah memiliki sedikit pengetahuan tentang sejarah Kerajaan Singhasari dan Majapahit. Kalau sudah “mudheng” ceritanya, rasanya melihat candi ini akan lebih “marem”. Di sini kita bisa menghayati benar kisah-kisah para raja leluhur yang penuh intrik tetapi sungguh menarik. Berikut ini saya paparkan beberapa hasil ngelamun perenungan sejarah saat berwisata ke Candi Singosari…
Ken Dedes, Ibunda para Raja
Di halaman kompleks Candi Singosari, ada arca-arca yang dipajang berjejer lurus dengan pos jaga. Arca-arca tersebut dahulunya ditemukan bersama reruntuhan Candi Singosari pada tahun 1800-an. Sebagian arca diboyong ke Museum Leiden oleh penjajah Belanda tukang nyolong warisan budaya negara lain dan sisanya ditinggalkan di sekeliling candi. Kalau kita perhatikan, salah satu dari arca tersebut ada yang tidak punya kepala alias kepalanya hancur!Arca itu sebenarnya adalah salah satu dari tiga arca Dewi Prajnaparamita yang telah ditemukan sejarawan. Dua arca ditemukan di Candi Singosari, sedangkan satu arca lagi di Candi Gilang, Tulungagung. Namun, di Candi Singosari hanya arca tanpa kepala yang bisa kita saksikan sekarang. Lantas, di mana arca Prajnaparamita satunya—yang masih utuh, cantik, nan anggun???
Usut punya usut, arca itu ternyata dahulu juga ikut diboyong ke Museum Leiden, Belanda. Untungnya, pada 1978 akhirnya Pemerintah Belanda mau mengembalikan arca tersebut dan kini disimpan di Museum Nasional Jakarta. Fyuhhh…
Emangnya apa sih istimewanya arca itu?
Oleh para sejarawan, arca Dewi Prajnaparamita ini diyakini sebagai perwujudan dari Ken Dedes, permaisuri Ken Arok yang merupakan pendiri Dinasti Rajasa. Dalam kitab Pararaton, diceritakan bahwa Ken Dedes adalah seorang nareswari, perempuan istimewa yang ditakdirkan menjadi “ibu para raja”. Lelaki manapun yang menikahinya akan menjadi seorang raja. Tanda-tandanya adalah, dari “daerah kewanitaannya” memancarkan cahaya yang terang benderang. (nah lho…! hebring banget tuh...
Oleh karena itulah, saat tak sengaja melihat kain Ken Dedes tersingkap di Taman Boboji, Ken Arok langsung berhasrat ingin menikahinya karena melihat “sinar” tersebut. Padahal, saat itu Arok telah memiliki istri bernama Ken Umang. Namun ambisi Arok menjadi seorang raja membuat dia memaksa ingin menikahi Dedes dan menjadikannya permaisuri—meskipun saat itu Dedes telah bersuamikan Tunggul Ametung.
Alhasil, pada suatu malam Arok pun membunuh Tunggul Ametung di tempat tidurnya dengan keris Mpu Gandring, disaksikan oleh Dedes yang saat itu tidur di samping suaminya. Arok pun menjadi penguasa Tumapel dan menikahi Dedes. Selanjutnya, ia menaklukkan Raja Kertajaya dari Kadiri, lalu mendirikan Kerajaan Singhasari. Di kemudian hari, ramalan Dedes sebagai perempuan nareswari ternyata terbukti. Raja-raja Singhasari dan Majapahit semuanya adalah keturunan langsung dari rahim Ken Dedes, baik hasil pernikahannya dengan Tunggul Ametung maupun dengan Ken Arok. Keturunan Ken Arok dengan istrinya yang lain justru tidak bertahan lama menjadi raja.
Keberadaan Ken Dedes menjadikan Dinasti Rajasa terasa istimewa. Dinasti kerajaan terbesar di Nusantara itu ternyata berpangkal pada seorang perempuan, bukan seorang laki-laki. Ken Dedes mengejawantahkan peran utama seorang perempuan sebagai ibu. Melalui Ken Dedes kita dapat melihat bahwa generasi yang istimewa, terlahir dari seorang ibu yang istimewa.
Raden Wijaya, Pejuang yang Bertahan Hidup
Di dalam kompleks Candi Singosari ditanam beberapa batang pohon Maja dengan buahnya yang bergelantungan lebat. Buah Maja bentuknya bulat besar seukuran jeruk Bali, tapi sangat pahit jika dimakan. Buah inilah yang ditemukan oleh Raden Wijaya, seorang survivor bangsawan Singhasari yang lolos dari penyerbuan Jayakatwang, saat dia membuka daerah baru di suatu hutan.
Bagaimana kisahnya Raden Wijaya bisa selamat dari keruntuhan Singhasari? Alkisah saat Istana Singhasari diserbu Jayakatwang pada 1292, Raden Wijaya dan pasukan Singhasari sedang bertempur di Utara Kerajaan. Ketika ia kembali, Istana Singhasari telah hancur lebur dan Kertanegara sudah dibunuh. Raden Wijaya pun melarikan diri bersama keempat putri Kertanegara, lalu meminta perlindungan kepada Arya Wiraraja, penguasa Sumenep, Madura.
Dengan bantuan Arya Wiraraja, Raden Wijaya berpura-pura menyerah kepada Jayakatwang, lalu memohon untuk diberikan sebidang tanah di Hutan Tarik, sebelah timur Kadiri. Di hutan inilah ia kemudian membangun sebuah desa bernama Majapahit, diambil dari nama pohon Maja berbuah pahit yang banyak terdapat di hutan itu.
Tak dinyana, tak diduga, ndilalah tak sampai setahun kemudian, pada 1293 Kerajaan Mongol mengerahkan 20.000 pasukan dan 1.000 kapal untuk menyerang Kertanegara dan Kerajaan Singhasari. Mereka merasa terhina atas sikap Kertanegara dahulu yang tidak mau tunduk kepada Raja Kubilai Khan dari Mongol, sehingga memutuskan menyerang Singhasari. Namun sesampainya di Jawa, pasukan Mongol mendapat kabar “ngglethek” bahwa Kertanegara ternyata telah tewas dan Singhasari kini dikuasai Jayakatwang.
Tapi kedatangan pasukan Mongol ini berhasil dimanfaatkan dengan cerdik oleh Raden Wijaya. Dia bergabung dengan pasukan Mongol dan membantu mereka menyerang Jayakatwang. Pasukan Mongol sih oke-oke saja karena merasa terbantu dengan dukungan “orang dalam”. Setelah Jayakatwang kalah dalam pertempuran besar itu, pasukan Mongol pun berpesta pora.
Tak disangka, sebulan kemudian Raden Wijaya ganti memberontak dan menyerang pasukan Mongol. Saat itu Raden Wijaya dikawal 200 prajurit Mongol menuju Majapahit untuk mempersiapkan persembahan kepada Kubilai Khan. Namun di tengah perjalanan apa yang terjadi? Raden Wijaya dan para prajuritnya justru berbalik membunuh pasukan Mongol tersebut. Wow! Lalu dengan pasukan yang lebih besar, Raden Wijaya memukul mundur seluruh pasukan Mongol yang ada di Jawa, dan memaksa mereka kembali ke negaranya. Kapok koen!
Setelah itu Raden Wijaya pun resmi mendirikan kerajaan baru bernama Majapahit dan menjadi rajanya yang pertama bergelar Prabu Kertarajasa Jayawardana. Hebat kan? Kalau kita cermati, berdirinya Majapahit itu berlangsung hanya sekitar setahun setelah runtuhnya Singhasari. Kebangkitan Dinasti Rajasa yang sangat cepat itu tidak lepas dari taktik Raden Wijaya yang sangat lihai. Melalui sosoknya, kita dapat melihat bahwa untuk bangkit dari kehancuran, dibutuhkan pejuang yang tangguh dan cerdik seperti Raden Wijaya, tidak putus asa dan mampu bertahan hidup!
***
Demikianlah selarik kisah tentang Kerajaan Singhasari dan Majapahit, yang direfleksikan melalui kontemplasi di Candi Singosari. Sebagai jejak peninggalan Dinasti Rajasa, pesona Candi Singosari sungguh menawan. Kisah mengenai dinasti penguasa Nusantara ini banyak termaktub dalam kitab kuno, prasasti, dan catatan kerajaan lain di luar negeri. Kedua kerajaan yang mereka dirikan (Singhasari dan Majapahit) memang termasyhur di kalangan sejarawan mancanegara. Kitab Nagarakretagama yang merupakan sumber utama kisah Dinasti Rajasa bahkan diterjemahkan oleh sejarawan Belanda, Dr Pigeaud. Banyak tulisan-tulisan Barat menceritakan tentang Ken Arok dan Ken Dedes. Karena itu, sering pula para wisatawan asing berkunjung ke Candi Singosari.
Sebagai putra Indonesia, kita juga harus memahami sejarah bangsa sendiri. Dengan mengunjungi objek wisata sejarah seperti Candi Singosari, ternyata banyak sekali ilmu yang didapat. Ingat, jejak sejarah akan selalu berulang. Intrik politik yang kita lihat pada zaman sekarang, sesungguhnya telah ada sejak zaman kerajaan dahulu kala. Hasut menghasut dan bunuh membunuh seperti sudah menjadi lakon manusia yang telah dirasuki nafsu kekuasaan. Kerajaan Singhasari yang didirikan dengan pertumpahan darah, berakhir pula dengan pertumpahan darah. Namun dari kekalahan dan keruntuhan itu, ternyata masih ada pejuang yang bisa bertahan, tidak putus asa melanjutkan perjuangan. Kerajaan baru pun tumbuh berkembang lagi menjadi kerajaan yang jauh lebih besar daripada sebelumnya.
Karena itu, seperti kata Bung Karno, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Dengan mempelajari sejarah, kita akan lebih mengenal dan menyadari siapa diri kita sebenarnya. Karena pemahaman yang dalam akan masa lalu, membuat kita lebih berhati-hati sebelum melangkah di masa depan…
sumber : http://umihabibah.com/candi-singosari-jejak-dinasti-penguasa-nusantara/









Tidak ada komentar:
Posting Komentar